SOLOPOS.COM - Sejumlah warga bekerja membangun jalan usaha tani di Desa Jimbar, Pracimantoro, Wonogiri, Senin (4/9/2023). (Istimewa/Sutrisno)

Solopos.com, WONOGIRI — Mayoritas desa di Wonogiri dinilai belum siap membuat dan menjalankan program ketahanan pangan dengan dana desa yang mereka terima dari pemerintah pusat. Hal itu terlihat dari program ketahanan pangan yang masih fokus pada perbaikan infrastruktur seperti jalan usaha tani (JUT).

Dana desa dinilai sangat mungkin menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan, termasuk di Wonogiri. Namun, pemahaman soal pentingnya ketahanan pangan di tingkat desa masih perlu dibangun. 

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Tenaga Ahli Pendamping Desa Wonogiri, Satyagraha, mengatakan pemerintah pusat cukup serius untuk mewujudkan kemandirian pangan di tingkat desa, salah satunya dengan mengamanatkan minimal 20% dana desa untuk ketahanan pangan.

Pengalokasian dana desa untuk program ketahanan pangan itu mulai berjalan sejak 2022 lalu. Hal itu berarti setiap desa termasuk di Wonogiri wajib menganggarkan 20% dari total dana desa yang diterima untuk program ketahanan pangan.

Menurut dia, di Wonogiri ketika mandataris itu diberikan masih banyak desa yang belum benar-benar siap. Sebagian desa masih gagap atau bingung membuat program ketahanan pangan.

Akhirnya program ketahanan pangan di banyak desa masih sebatas pembangunan irigasi atau jalan usaha tani (JUT). Satya mengatakan program ketahanan pangan berupa pembangunan infrastruktur itu tidak salah.

“Pada kenyataannya memang yang dibutuhkan banyak desa di Wonogiri ya infrastruktur ketahanan pangan itu. Apalagi memang selama dua tahun pandemi Covid-19, desa minim sekali pembangunan infrastruktur, jadi ya wajar saja,” kata Satya saat berbincang dengan Solopos.com di Kantor Tenaga Ahli Pendamping Desa Wonogiri, Senin (2/10/2023).

Namun, Satya melanjutkan ketika infrastruktur pendukung ketahanan pangan itu sudah rampung dikerjakan, desa-desa di Wonogiri itu masih bingung untuk membuat program lain pada pos anggaran ketahanan pangan. Sebab pembangunan infrastruktur itu tidak dibarengi dengan manajemen perencanaan panjang, melainkan hanya spasial. 

Tidak Bisa Instan

Hal itu berbeda dengan desa yang sejak awal sudah memang sudah memiliki program ketahanan pangan. Program ketahanan pangan di desa-desa itu biasanya lebih matang dan berkelanjutan. Satya mencontohkan di Desa Jatimarto, Kecamatan Ngadirojo, yang sejak awal ingin menjadi desa sentra durian.

Desa itu memiliki milestone yang jelas, mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga pelaksanaan. “Memang itu tidak bisa dinikmati secara instan tetapi setidaknya itu jelas dan progresnya tampak,” ujar dia.

Satya menyebut program ketahanan pangan ini tidak harus berupa pembangunan infrastruktur fisik pertanian. Desa boleh mengadakan program pengadaan ternak untuk warga miskin dan mampu mengelola ternak.

Selain itu, bisa pula memberikan bibit tanaman kepada warga untuk dibudidayakan. Tetapi program-program seperti itu memang lebih rumit. Pemerintah desa harus bekerja memonitor, evaluasi, dan mendampingi warga penerima bantuan tanaman atau ternak.

“Yang biasanya luput dari desa ketika program ketahanan pangan berupa pengadaan ternak atau bibit itu soal monitoring bantuan itu. Belum ada sistem yang terbentuk. Misalnya ketika ternak itu mati harus lapor siapa,” ucap Satya.

Dia menerangkan sebenarnya belum banyak desa di Wonogiri yang sadar betul soal pentingnya ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan ini masih dipandang belum terlalu penting.

Apalagi narasi yang dibangun soal ketahanan pangan ini merupakan antisipasi dari kondisi global yang saat ini memang menuju krisis pangan akibat perubahan iklim dan perang. 

Tetapi, Satya juga mengatakan saat ini belum ada parameter untuk mengukur program ketahanan pangan itu dikatakan berhasil atau tidak. Selama ini penilaian soal program ketahanan pangan baru sebatas realisasi penyerapan anggaran terhadap program tersebut.

“Bentuk pertanggungjawaban desa ketika program ketahanan pangan itu gagal pun bisa dikatakan belum ada,” jelas dia. Dia menambahkan alokasi dana desa untuk ketahanan pangan ini sebenarnya sangat mungkin membantu mewujudkan kedaulatan pangan di Wonogiri.

Satya menilai program ini sangat strategis karena anggaran yang dikeluarkan untuk program ini pun cukup besar dibandingkan alokasi dana desa untuk program lain seperti bantuan langsung tunai (BLT) yang minimal sebanyak 10%. 

Menyesuaikan Kebutuhan

Satya menilai program ketahanan pangan di tingkat desa ini memang belum optimal. Padahal dengan mewujudkan ketahanan pangan tingkat desa akan membantu menekan kemiskinan. Di sisi lain, desa bisa berdikari atau mandiri pangan. 

Menurut Satya, selain membangun pemahaman dan kesadaran pentingnya ketahanan pangan terhadap pemerintah desa, perlu ada kolaborasi antarstakeholder terkait seperti Dinas Pertanian Pangan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

“Selama ini kalau kami lihat belum ada kolaborasi yang serius antara keduanya,” imbuhnya.

Kepala Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri, Tri Haryanto, menyampaikan program ketahanan pangan di desanya selama ini masih fokus pada pembangunan infrastruktur penunjang produktivitas pertanian, yaitu JUT, irigasi, dan sumur dalam untuk pengairan lahan pertanian.

Dia menyebut program itu sudah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pertanian di Desa Sumberejo. 

“Di sini itu kebanyakan sawah tadah hujan. Ketika sudah dua kali panen, lahan pertaniannya sudah tidak lagi produktif dan dibiarkan nganggur karena tidak ada air. Dengan sumur dalam, harapan kami di MT [masa tanam] III, lahan itu masih bisa dimanfaatkan misalnya ditanami palawija yang sedikit butuh air,” kata dia.



Sementara itu, Kepala Desa Tawangrejo, Kecamatan Jatipurno, Sido, juga mengaku menganggarkan program ketahanan pangan berupa pembangunan JUT.  Ada beberapa wilayah pertanian yang belum memiliki infrastruktur jalan yang memadai sehingga menyulitkan usaha pertanian. 

Selain itu, pada pertengahan Oktober 2023 ini, Pemdes Tawangrejo bakal menganggarkan program ketahanan pangan berupa pengadaan hewan ternak kambing untuk sejumlah warga miskin di 23 rukun tetangga (RT) senilai Rp120 juta. 

“Kurang lebih nanti ada 95 ekor kambing untuk warga miskin yang kami nilai mau dan mampu beternak. Nanti juga akan ada evaluasi, pendampingan, dan monitoring pengembangbiakkannya,” kata Sido.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya