Soloraya
Jumat, 16 Februari 2024 - 16:39 WIB

Asal Usul Tradisi Lisan Balung Buto di Kawasan Cagar Budaya Sangiran Sragen

Galih Aprilia Wibowo  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Penampilan Tari Rempeg Balung Buta pada Hari Tari Sedunia 2022 dari Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (istimewa/Brayat Krajan)

Solopos.com, SRAGEN — Sebagai salah satu warisan budaya yang diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Situs Sangiran tidak lepas dari tradisi lisan yang eksis di masyarakat setempat hingga kini.

Salah satu cerita rakyat di kawasan Sangiran yang masih bertahan adalah Balung Buto. Cerita ini telah eksis diceritakan warga dari mulut ke mulut sejak 1930-an

Advertisement

Kasi Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sragen, Andjarwati Sri Sajekti, menjelaskan pada tahun tersebut, warga setempat bercerita kepada para peneliti tentang Balung Buto.

Kisahnya, ada sekelompok orang yang hidup di sana hidup bersama seorang pemimpin bernama Raden Bandung. Kondisi tanah yang subur membuat masyarakat di wilayah Sangiran bisa beternak dan bercocok tanam.

Advertisement

Kisahnya, ada sekelompok orang yang hidup di sana hidup bersama seorang pemimpin bernama Raden Bandung. Kondisi tanah yang subur membuat masyarakat di wilayah Sangiran bisa beternak dan bercocok tanam.

“Kemudian datanglah apa rombongan raksasa gitu yang dipimpin oleh Tegopati. Mereka merusak tanaman, memangsa hewan ternak, mau menguasai wilayah desa tersebut gitu. Akhirnya masyarakat ketakutan dan kemudian mereka minta bantuan kepada Raden Bandung itu sebagai seorang ksatria,” terang Andjar kepada Solopos.com, pada Jumat (16/2/2024).

Raden Bandung kemudian menyanggupi permintaan warga setempat. Mereka akhirnya terlibat peperangan untuk mengusir Tegopati dan rombongan. Namun pada peperangan pertama, Raden Bagus Bandung mengalami kekalahan melawan Tegopati.

Advertisement

Lahirnya Kedungombo

Setelah bertapa di hutan, Raden Bandung kemudian muncul di sebuah kedung yang bernama Kedungringin yang kini menjadi nama dusun. Seusai muncul dari telaga, Raden Bandung mencari Tegopati yang ternyata sudah mendirikan kerajaan di wilayah bernama Kedungombo.

Raden Bandung terlibat pertempuran hebat dengan Tegopati. Tegopati dan pasukannya berhasil dikalahkan. Setelah berhasil dibunuh, tulang-tulang Tegopati berceceran di mana-mana.

Di tempat pertempuran tersebut, saat ini dikenal sebagai Dusun Saren karena darah Tegopati yang membanjiri wilayah itu. Berhasil dikalahkan oleh Raden Bandung, tubuh Tegopati yang berukuran besar atau dikenal sebagai raksasa atau buto jatuh telenjang di wilayah yang saat ini dikenal Dusun Bapang.

Advertisement

Wilayah yang menjadi tempat pertempuran, menjadi tempat tulang-tulang Tegopati dan pasukannya berserakan yang saat ini dikenal sebagai wilayah Sangiran.

“Itulah yang disebut masyarakat sebagai Balung Buto. Jadi keberadaan fosil-fosil yang ada di Sangiran itu dianggap secara mitos itu adalah fosil-fosil dari pasukan Tegopati yang merupakan raksasa [buta] yang dia mau mengganggu ataupun merebut ee ketentraman dari masyarakat,” terang Andjar.

Seniman di Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen, justru berhasil menelurkan kreasi tari baru yang diberi nama Tari Balung Buto.

Advertisement

Terciptanya tarian ini terinspirasi dari cerita rakyat tersebut. Munculnya cerita rakyat ini tak lepas dari kebiasaan warga sekitar yang selalu berteriakbalung butasetiap menemukan tulang dalam ukuran besar.

Hal ini diungkapkan Bayan Desa Manyarejo, Paimin. Menurutnya, sesuai namanya, Tari Balung Buto mengisahkan tentang cerita rakyat tersebut. Tarian ini dibawakan oleh penari dan penabuh alat musik.

Para seniman ini tergabung dalam Perkumpulan Brayat Krajan Sangiran. Mereka bisa berlatih di Rumah Joglo Bu Tugi di depan Klaster Museum Manyarejo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif