SOLOPOS.COM - Para siswa dan guru di SMPN 2 Sambirejo, Sragen, melakukan gerakan pungut sampah dan Jumat Bersih di lingkungan sekolah setempat, belum lama ini. (Istimewa/Heni Rina Setiyawati)

Solopos.com, SRAGEN — Para siswa, guru, dan karyawan di SMPN 2 Sambirejo, Sragen, memiliki kebiasaan yang unik setiap awal pelajaran, yakni menyukseskan gerakan pungut sampah (GPS).

Kebiasaan itulah yang membawa sekolah ini mendapatkan penghargaan Adiwiyata Mandiri tahun 2023. Sampah dedaunan dicacah dengan mesin dan diolah menjadi pupuk organik pun menjadi inovasi di sekolah tersebut.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Kepala SMPN 2 Sambirejo, Sragen, Heni Rina Setiyawati, kepada Solopos.com, Jumat (3/11/2023), mengungkapkan sebelumnya SMPN 2 Sambirejo mendapat predikat sebagai sekolah adiwiyata nasional pada 2021. Dia melanjutkan sejak itu berproses menuju ke sekolah adiwisaya mandiri dan akhirnya bisa tercapai pada 2023 ini.

Untuk menuju sekolah adiwiyata mandiri itu, kata Heni, sekolah harus bekerja cerdas dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan lingkungan masyarakat sekitar untuk berkolaborasi dan bekerja sama.

“Seluruh warga sekolah berperan aktif dalam mewujudkan sekolah adiwiyata mandiri, salah satunya dengan gerakan pungut sampah atau GPS sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Kemudian petugas kebersihan selalu melakukan skrining sampah setiap empat jam sekali untuk mengontrol sampah di kelas-kelas. Kemudian karyawan dan guru juga berpartisipasi mengolah sampah dedaunan menjadi pupuk organik,” ujarnya.

Heni menjelaskan selain itu, setiap Jumat pada pekan pertama selalu dilakukan kegiatan Jumat Bersih yang tujuannya bersih-bersih lingkungan. Dia mengakui masalah sampah menjadi pekerjaan rumah di sekolah karena banyak bungkus makanan serta banyak dedaunan kering yang jatuh mengingat banyak tumbuhan jati dan tumbuhan keras di lingkungan sekolah.

“Daun-daun kering itu kemudian dicacah dengan mesin pencacah yang dimiliki sekolah untuk diproses menjadi pupuk organik,” jelasnya.

Heni menerangkan proses menuju adiwiyata mandiri itu membutuhkan waktu setahun. Dia mengakui dalam berproses itu menghadapi kendala di lapangan terutama konsistensi dalam menjalankan GPS.

“Jadi pada awal pembelajaran atau pagi hari, siswa berburu sampah di lingkungan kelas masing-masing. Nah, kadang gerakan itu dilakukan dan kadang belum dilakukan. Konsistensi itu yang menjadi kendala,” katanya.

Saat musim kemarau, ujar dia, sampah daun banyak sekali karena dekat dengan kebun jati milik penduduk dan daun dari pepohonan besar di lingkungan sekolah. Dari potensi sampah itulah, Heni mengatakan sekolah punya inovasi untuk membuat mesin pencacah daun dan bisa digunakan sampai sekarang.

“Untuk membiasakannya, GPS dibutuhkan kekompakan dan kerja sama, saling mengingatkan antarwarga sekolah. Untuk mengurangi sampah, sekolah membuat kebijakan siswa, guru, dan karyawan membawa bekal makanan dari rumah dan tumbler ke sekolah. Kemudian untuk sampah plastik, terutama botol dibuat ecobrick dan disusun di sekolah. Inovasi ecobrick juga bisa mengurangi sampah,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya