SOLOPOS.COM - Petani menebar pupuk di area persawahan Kecamatan Selogiri, Wonogiri, Selasa (30/1/2024). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Alokasi pupuk bersubsidi bagi petani di Wonogiri berkurang signifikan pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu bisa membuat biaya produksi petani membengkak jika mereka tetap berkukuh menggunakan pupuk kimia nonsubsidi.

Salah satu petani di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Sujiono, mengaku kaget ketika melihat alokasi pupuk yang dia terima pada 2024 ini turun sampai 50% dibandingkan 2023.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Semula dia mendapatkan 17 kilogram pupuk Urea untuk lahan seluas 800 meter persegi. Sekarang jatah pupuk subsidi untuknya turun menjadi 8 kg. Jatah pupuk untuk satu kali masa tanam.

“Turunnya banyak, kalau dihitung bisa lebih dari 50%,” kata Sujiono saat berbincang dengan Solopos.com di sawahnya, di Kelurahan Kaliancar, Selogiri, Wonogiri, Selasa (30/1/2024).

Dia menerangkan kebijakan penurunan alokasi pupuk subsidi itu semakin menyulitkan petani Wonogiri. Biaya produksi petani otomatis akan meningkat. Mereka akan berusaha menutupi kekurangan itu dengan membeli pupuk nonsubsidi.

Menurutnya, penurunan jatah alokasi itu sudah sejak 2022. Bahkan pada tahun itu beberapa jenis pupuk subsidi seperti ZA atau amonium sulfat dan SP-36 sudah tidak lagi diberikan.

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Dasa Tani Desa Jaten, Kecamatan Selogiri, Wonogiri, Edi Broto, menyampaikan jatah pupuk subsidi yang diterima petani jauh dari rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK).

Petani di Gapoktan Dasa Tani hanya menerima 48% Urea dan kurang dari Rp30% NPK dari RDKK. Edi menyampaikan alokasi sebanyak itu untuk jatah selama setahun atau tiga kali masa tanam.

Padahal tidak mungkin alokasi sebanyak itu bisa mencukupi kebutuhan pertanian selama setahun. Alokasi itu hanya bisa mencukupi untuk sekali masa tanam pada masa tanam (MT) I.

Harus Mulai Beralih ke Pupuk Organik

“Kalau petani tidak pandai-pandai bikin pupuk sendiri, pasti biaya produksi akan naik. Makanya, kami di gapoktan sudah mulai sosialisasi penggunaan pupuk organik dari limbah kotoran ternak dan lainnya,” ujar Edi.

Menurut dia, pupuk limbah kotoran ternak belum banyak termanfaatkan. Sebanyak 70% kotoran ternak kambing atau sapi hanya dibuang. Padahal kotoran itu bisa menjadi alternatif murah bagi petani untuk dijadikan pupuk organik.

Hanya, ketika menggunakan pupuk organik, hasil panen yang didapatkan memang tidak bisa instan seperti saat menggunakan pupuk kimia baik subsidi maupun nonsubsidi. Tetapi lambat laun hasil panen dari penggunaan pupuk organik juga akan sebaik saat menggunakan pupuk kimia.

Edi menyebutkan harga pupuk nonsubsidi berkisar mulai Rp150.000 sampai Rp300.000 per 50 kg. Sedangkan harga pupuk subsidi maksimal Rp115.000 per 50 kg.

Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Wonogiri, Giyanto, memaparkan RDKK pupuk Urea di Wonogiri sebanyak 43.282 ton. Sedangkan RDKK pupuk NPK 58.892 ton. Tetapi alokasi yang didapatkan hanya 22.863 ton Urea dan 17.248 ton NPK.

Secara persentase pemerintah hanya mencukupi masing-masing jenis pupuk sebesar 52,82% dan 29,39% kebutuhan. Jumlah petani yang menerima pupuk subsidi tersebut sebanyak 164.207 orang.

Menurut dia, biasanya pada pertengahan tahun, pemerintah merealokasi pupuk subsidi. ”Kemungkinan besar ada realokasi, baik itu pengurangan atau penambahan alokasi. Untuk jumlah atau waktu realokasinya, kami masih menunggu informasi dari pemerintah pusat,” ungkap Giyanto.

Dia menambahkan pengalokasian pupuk subsidi merupakan kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Adapun pemerintah kabupaten hanya membantu mengawasi penyaluran dan penggunaan pupuk subsidi tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya