SOLOPOS.COM - Salah satu cabang Warung Sate Solo Barokah Pak Agus milik warga asal Glagahombo, Blumbang, Klego, Boyolali, Agus Sudarno, di Jakarta. (Istimewa/Agus Sudarno)

Solopos.com, BOYOLALI — Di sebelah selatan Waduk Bade tepatnya di Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Klego, Boyolali, terdapat perkampungan yang dikenal dengan Kampung Satai. Dinamakan Kampung Satai karena mayoritas penduduknya berjualan satai kambing.

Bukan satai kambing khas Boyolali, warga setempat menggunakan nama satai khas Solo untuk warung mereka di tanah rantau. Diketahui, lebih dari separuh penduduk Glagahombo merantau di Jakarta dan sekitarnya untuk berjualan satai sejak 1960-an.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Paguyuban Perantau Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo (IKKG) mencatat ada ribuan outlet warung satai khas Solo yang dikelola warga Glagahombo Boyolali di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Ketua IKKG, Sudadi, menjelaskan walaupun penjual satai tersebut berasal dari Boyolali, namun satai mereka lebih dikenal dengan nama satai khas Solo. Hal itu ternyata ada sejarahnya.

“Suatu saat akan kami pikirkan [untuk menggunakan nama Boyolali]. Namun, ada sisi historis. Awal mulanya, sebelum 1960-an itu warga Glagahombo jualan satai dengan cara dipikul di Solo. Kebanyakan mereka berjualan di Solo,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di Griya Satai IKKG, Glagahombo, Klego, Boyolali, Kamis (18/4/2024).

Pada 1960-an, beberapa warga Glagahombo merantau ke Jakarta untuk berjualan satai. Mereka ditawari pelanggan untuk berjualan satai di Jakarta karena makanan mereka dinilai akan diterima oleh orang banyak di sana. Nama Solo dipakai untuk menandai warung-warung warga Glagahombo.

perantau bakul satai boyolali
Satai kambing khas Solo hasil olahan warga kampung satai Glagahombo, Blumbang, Klego, Boyolali, Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Dadi mengungkapkan bahkan hingga saat ini masih ada satu-dua orang yang berjualan dengan cara dipikul di wilayah Solo. Sehingga, hal itulah yang menjadikan warung-warung satai milik warga Glagahombo memiliki kata-kata khas Solo.

3 Gelombang Perantau

Lebih lanjut, Dadi menjelaskan gelombang pertama perantau dari Glagahombo yang berjualan satai di Jakarta ada Jumiran, Karto, Saberi, dan Kamyono yang berangka sekitar 1960-an. Sama seperti saat di Solo, mereka berjualan satai pikulan sambil beberapa di antara mereka mencari pangkalan.

Salah satu yang mencari tempat pangkalan adalah Jumiran. Ia akhirnya membuat pangkalan di sekitar Pasar Rumput Minangkabau, Jakarta Selatan. Pangkalan satai dan tongseng Jumiran sangat ramai diserbu pembeli kala itu.

Jumiran lalu mendatangkan beberapa warga Glagahombo untuk membantunya mengelola pangkalan satai. Saat itu, menu satai, gulai, dan tongseng kambing dinilai unik dan belum banyak pesaing sehingga banyak peminatnya.

Lebih lanjut, sekitar 1970, gelombang kedua perantau berangkat karena ada pelanggan dari Solo yang mengajak ke Jakarta untuk berjualan satai. Beberapa orang yang masuk gelombang kedua ini antara lain Sukarmin,  Wasimin, Paino, dan Karmin.

Sebelumnya, mereka juga berjualan satai dengan cara dipikul di wilayah Solo. Beberapa dari mereka merintis kios di wilayah Kalibata dan Cipete, Jakarta Selatan, dan ternyata juga ramai. Sehingga, pada 1970-an tercatat ada kios satai warga Glagahombo yang ramai di Pasar Rumput Minangkabau, Kalibata, dan Cipete.

Seiring waktu, warung-warung satai milik warga Glagahombo semakin bertambah dan menjamur di wilayah Jakarta. Termasuk milik Sudadi pada 1987.

Ia mengaku termasuk gelombang perantau yang berangkat pada 1980-an. Kemudian, pada 1990-an beberapa saudaranya dan warga Glagahombo semakin banyak yang berangkat ke Jakarta.

Solo Laboratorium Kuliner

Mereka awalnya magang beberapa tahun di tempat saudara dan mempelajari resep satai, tongseng, dan gulai kambing. Kemudian, setelah dirasa mampu dan memiliki modal, mereka membuka warung sendiri.

perantau bakul satai boyolali
Salah satu warung satai kambing khas Solo di kampung satai Glagahombo, Blumbang, Klego, Boyolali, Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

“Pada 1990-an puluhan outlet mulai tumbuh. Kemudian, pada 2000-an [outlet berkembang] sangat pesat. Pada 2000-an juga gelombang perantau makin banyak yang ke Jakarta untuk jualan satai,” kata dia.

Ia menjelaskan saat ini ada ribuan warung satai milik warga Glagahombo yang tersebar di Jabodetabek. Ada sekitar 1.500-an warga Glagahombo yang tersebar di Jabodetabek dan membentuk keluarga.

Ia menjelaskan IKKG dibentuk pada 10 September 1982 dengan anggota awalnya hanya belasan orang. Kini telah ada lebih dari 1.000 anggota IKKG di Jakarta dan sekitarnya.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, menyebut Kota Solo merupakan laboratorium bagi para pengusaha yang ingin menjajakan makanannya. Menurut dia, ketika makanan dari luar Solo dapat berekspansi ke Kota Bengawan dan ramai, itu berarti makanan tersebut akan mudah diterima di daerah mana pun.

“Karena Solo itu istilahnya keplek ilatnya sudah teruji, Solo sebagai surga kuliner, sebagai Kota Keplek Ilat atau memanjakan lidah itu sudah teruji,” ujarnya seperti diberitakan Solopos.com pada 2023 lalu.

Ia sempat mencontohkan kuliner soto seger Boyolali yang juga akhirnya bisa berekspansi ke Solo lalu bersaing dengan makanan lain.

“Jadi bisa berekspansi ke kota, kalau dalam pengertian sejarah kewilayahan, Boyolali itu daerah kabupaten. Kemudian mampu berekspansi ke Kota Solo, mampu juga berkompetisi dengan soto berlatar wilayah lain seperti Soto Lamongan, Soto Betawi, dan sebagainya,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya