SOLOPOS.COM - Dirjen IKMA Kemenperin Reni Yanita (kiri) bersama Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati meninjau batik di lantai II Pusat Batik Sukowati (PBS) Sragen, Jumat (15/12/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN—Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberi lima catatan kepada pengelola Pusat Batik Sukowati (PBS) Sragen dalam pengembangannya ke depan.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin berharap PBS Sragen dapat dikenal dan menjadi rujukan daerah lain untuk belajar tentang batik. Catatan itu disampaikan Dirjen IKMA Kemenperin, Reni Yanita, saat meresmikan PBS Sragen, Jumat (15/12/2023).

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Reni menerangkan masalah dalam pengembangan batik terletak pada bahan baku, terutama kain dan pewarnaan. Dia mengatakan pewarnaan yang digunakan diharapkan menggunakan warna alami. Pengembangan bahan pewarnaan alami itulah, ujar dia, sudah dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Masalah berikutnya, perajin tradisional belum banyak yang paham tentang pengolahan limbah batik agar tidak mencemari lingkungan. Limbah itu diolah supaya ramah lingkungan. Selama ini perajin batik banyak yang menggunakan zat kimia sehingga ke depan perajin batik harus menggunakan bahan-bahan alami. PBS ini harus menjadi kiblat dalam bahan baku dan pewarnaan,” pinta Reni.

Reni menjelaskan penggunaan bahan baku alami yang konsisten akan membuat stabil harganya. Setelah dua masalah itu, Reni menambahkan masalah ketiga agar perajin batik dapat mengenal digitalisasi dalam manajemen pemasaran batik sehingga tidak mengandalkan lagi pemasaran konvensional.

Dia menerangkan industri kecil dan menengah (IKM) batik itu berkembang dan pada ujungnya kesejahteraan tercapai.

“Penggunaan dana nonfisik ke depan terus diupayakan untuk mendukung PBS. Kemudian masalah berikutnya terletak pada sumber daya manusia (SDM). Untuk menyiapkan SDM, pemerintah daerah harus mengenalkan batik sebagai kurikulum muatan lokal bagi anak-anak di sekolah. Mereka dapat mencintai dan mengembangkan usaha batik yang digeluti orang tuanya,” ujarnya.

Dia menjelaskan generasi pembatik pertama mungkin agak sulit mengenal proses produksi batik yang ramah lingkungan tetapi pada generasi kedua atau anaknya yang melanjutkan dengan digitalisasi. Ketika anak-anak mudanya tertarik di dunia batik maka akan menjadi peluang dalam peningkatan pasar yang luar.

Menurutnya batik bisa menjadi sumber devisa negara. Dia meminta PBS Sragen mulai berpikir untuk penyusunan jenis layanan bisnis, proses binis, dan pengelolaan hingga kemitraan untuk ekspor. “Kemitraan bisa dilakukan antarkabupaten atau dengan menggandeng provinsi, untuk penguatan kemitraan ekspor,” paparnya.

Dia menyebut di Indonesia pada 2023 ini ada 201 sentra industri batik yang menyebar di 11 provinsi sehingga mereka ini harus menjadi motivasi bagi PBS Sragen. Dia berharap PBS Sragen dapat menciptakan motif batik sendiri dan di-branding secara nasional, misalnya batik Sukowati. Motif batik tersebut, ujar dia, bisa didaftarkan untuk perlindungan kekayaan intelektual.

“Di Sragen sudah ada 38 sertifikasi batik mark. Bisa menyentuh anak-anak muda seperti apa. Barangkali batik kontemporer bisa digaungkan lagi. Kami titip dinas tidak hanya pelatihan dan pendampingan IKM tetapi juga memikirkan bisnis ke depannya yang berorientasi ekspor,” jelasnya.

Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati menerangkan catatan dari Kemenperin yang bisa ditangkap adalah bagaimana batik itu bukan lagi printing tetapi batik itu memiliki karya seni sehingga harus ada prosesnya, seperti pakai malam, canting, dan seterusnya. Kalau batik printing, ujar dia, apa bedanya dengan batik dari Tiongkok.

“Nah, ke depan manajemennya lebih ke unit pelaksana teknis daerah (UPTD). Alternatifnya ada badan layanan umum daerah (BLUD) atau koperasi. Kenapa pilih UPTD karena masih ada campur tangan pemerintah, terutama dalam pelayanannya. Jadi ada pengembangan motif baru sehingga ada workshop di lahan di belakang dan hasilnya bisa dipasarkan di PBS ini,” ujarnya.

Berikut catatan Kemenperin untuk PBS Sragen:

1. Masalah bahan baku, kain, dan pewarnaannya batik, sehingga PBS harus jadi kiblat untuk bahan baku dan pewarnaan alami.
2. Perajin tradisional belum paham sepenuhnya agar limbah batik tidak mencemari lingkungan atau agar dapat ramah lingkungan.
3. Pengenalan digitalisasi manajemen pemasaran sehingga tidak lagi mengandalkan konvensional.
4. Mengenalkan kurikulum membatik sebagai muatan lokal di sekolah untuk regenerasi pembatik.
5. Memikirkan peluang kemitraan untuk pasar ekspor ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya