SOLOPOS.COM - Gunungan apam yang dikirab dan selanjutnya disebar dalam Tradisi Apam Keong Mas di Pengging, Banyudono, Boyolali, Jumat (15/9/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Tradisi Sebaran Apam Keong Mas di Pengging, Banyudono, Boyolali, setiap bulan Safar atau Sapar pada kalender Jawa/Islam sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak 2020 lalu.

“Tradisi sebaran apam kukus keong mas ini pada 2020 sudah ditetapkan Kemendikbud sebagai warisan budaya tak benda,” kata Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Boyolali, Budi Prasetyaningsih, kepada wartawan di sela-sela acara Tradisi Sebaran Apam Keong Mas di Pengging, Jumat (15/9/2023).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Menurut laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Tradisi Apam Keong Mas tercatat sebagai warisan budaya tak benda dengan nomor registrasi 202001127. Domainnya Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan.

“Jadi sebaran apam kukus keong mas yang dilaksanakan setiap bulan Sapar itu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 2020 berdasarkan sidang penetapan,” ungkap Kepala Disporapar Boyolali, Budi Prasetyaningsih, seperti dikutip di laman resmi Pemkab Boyolali, boyolali.go.id, Selasa (13/10/2020).

Tradisi Sebaran Apam Keong Mas di Pengging, Banyudono, Boyolali, ditetapkan sebagai WBTB karena dinilai memenuhi syarat di antaranya tradisi tersebut dilakukan setiap tahun, merupakan ciri khas daerah tersebut, serta bermanfaat bagi masyarakat.

Bermula dari Pagebluk 200-an Tahun Lalu

Setiap tahun, lanjut Budi Prasetyaningsih, ritual itu dilestarikan agar masyarakat menjadi makmur, pertanian menjadi sukses, lancar, baik, dan masyarakat menjadi sejahtera.

Pegiat sejarah dan budaya Boyolali, R Surojo, menyampaikan munculnya tradisi Sebaran Apam Keong Mas berawal dari pagebluk serangan hama keong mas di lahan persawahan wilayah Pengging pada masa pemerintahan Paku Buwono (PB) IV (berkuasa pada 1788-1820).

Para petani telah berkali-kali berupaya menghalau hama keong emas, tapi selalu gagal. Akhirnya, mereka meminta bantuan dan nasihat dari sesepuh Pengging yang juga pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Tumenggung Sastronagoro atau dikenal dengan nama Yosodipuro II (wafat pada 1844) .

“Pada malam hari, Yosodipuro II meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kemudian mendapatkan petunjuk bahwa masyarakat Pengging harus membuat apam yang dikukus, tidak dipanggang atau digoreng,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di depan Masjid Cipto Mulyo Pengging, Boyolali, dalam acara Sebaran Apam Kukus Keong Emas, Jumat sore.

Setelah dikukus, apam-apam buatan warga dikumpulkan di masjid lama Pengging yang dibangun PB IV untuk didoakan. Dulunya masjid tersebut berada di area Masjid Cipto Mulyo sekarang ini.

Setelah didoakan, apam tersebut kemudian dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Pembagiannya juga dari satu tempat ke tempat lain, belum disebar seperti saat ini. Sambil membagikan apam, masyarakat berdoa agar dihindarkan dari segala macam pagebluk.

Perwujudan Doa

“Nah, pembagian apam tersebut kebetulan pada saat bulan Safar. Apam kukus ini sebagai perwujudan doa menghalau keong emas. Kemudian, masyarakat mengatakan ini adalah apam kukus keong emas,” kata dia.

Pada saat itu, Surojo menyampaikan apam belum disebar seperti saat ini. Apam dibagikan dari satu tempat ke tempat lain. Lebih lanjut, ia menjelaskan tidak ada catatan pasti kapan pembuatan apam kukus keong emas mulai menjadi tradisi di Pengging, Boyolali.

Namun, ia memperkirakan tradisi itu dimulai saat pemerintahan PB VII (berkuasa pada 1830-1858). Tradisi tersebut diadakan setelah adanya Perang Diponegoro. Sementara Yosodipuro II menjadi pujangga kerajaan di masa PB IV hingga PB VII.

“Sehingga untuk tahunnya kemungkinan pada 1830-an. Tradisi ini sempat berhenti pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian kembali hidup sewaktu agresi militer Belanda 1950-an itu mulai ada sebaran. Lalu, pada akhir zaman Orde Baru modelnya berubah ada kirabnya sampai sekarang,” kata dia.

Surojo mengatakan apam khas Pengging memiliki keunikan karena dimasak dengan cara dikukus, bukan digoreng seperti apam pada umumnya. Bungkus apam juga bukan dari plastik akan tetapi janur kuning.

Bahan apam dimasukkan ke dalam janur berbentuk kerucut mirip rumah keong. “Untuk bahannya sama dengan apam yang lain, ya tepung beras, ketan, dan lain sebagainya,” kata dia.

Bupati Boyolali M Said Hidayat yang juga hadir pada acara Sebaran Apam Keong Mas di Pengging, Jumat, berharap tradisi itu tetap dilaksanakan. Ia juga berharap generasi muda bisa nguri-uri budaya tersebut sehingga tetap lestari.

“Harapannya tradisi ini juga bisa menarik wisatawan. Boyolali membangun tidak hanya dari segi infrastruktur, tapi bagaimana menjaga tradisi, budaya, dan sebagainya. Harapannya itu bisa memberikan dukungan pada sisi kepariwisataan di Boyolali,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya