SOLOPOS.COM - Warga menunjukkan apam keong mas yang didapat saat tradisi sebaran apam di Banyudono, Boyolali, Jumat (15/9/2023). (Solopos/Ni'matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Kue apam menjadi salah satu makanan khas di bulan Safar atau Sapar pada kalender Jawa/Islam, tidak hanya di Jatinom, Klaten, tapi juga di Pengging, Banyudono, Boyolali.

Dibandingkan dengan tradisi sebaran apam Yaa Qawiyyu di Jatinom, Klaten, yang sudah berusia 400-an tahun, tradisi sebaran apam Keong Emas di Pengging memang jauh lebih muda, yaitu baru sekitar 200 tahun.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Bentuk apamnya pun berbeda. Jika apam di Jatinom berbentuk bulat, apam Pengging berbentuk kerucut dibungkus janur. Setelah beberapa tahun tak diramaikan karena pandemi Covid-19, tradisi itu digelar di Banyudono, Boyolali, pada Jumat (15/9/2023) siang.

Dari sejarahnya, tradisi ini bermula ketika terjadi pagebluk serangan hama keong emas di lahan pertanian wilayah Pengging pada 1800-an. Pegiat sejarah dan budaya Boyolali, R Surojo, menyampaikan pada masa pemerintahan Paku Buwono (PB) IV (berkuasa pada 1788-1820), masyarakat Pengging mengalami pagebluk serangan hama keong emas yang menyerang pertanian padi.

Para petani telah berkali-kali berupaya menghalau hama keong emas, tapi selalu gagal. Akhirnya, mereka meminta tolong sesepuh Pengging yang sekaligus seorang pujangga di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bernama Tumenggung Sastronagoro atau dikenal dengan nama Yosodipuro II ((1760-1844) .

“Pada malam hari, Yosodipuro II meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kemudian mendapatkan petunjuk bahwa masyarakat Pengging harus membuat apam yang dikukus, tidak dipanggang atau digoreng,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di depan Masjid Cipto Mulyo Pengging dalam acara Sebaran Apam Kukus Keong Emas, Jumat sore.

Apam Dibagikan kepada Warga yang Membutuhkan

Setelah dikukus, apam-apam buatan warga dikumpulkan di masjid lama Pengging yang dibangun PB IV untuk didoakan. Dulunya masjid tersebut berada di area Masjid Cipto Mulyo sekarang ini.

Setelah didoakan, apam tersebut kemudian dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Pembagiannya juga dari satu tempat ke tempat lain, belum disebar seperti saat ini. Sambil membagikan apam, masyarakat berdoa agar dihindarkan dari segala macam pagebluk.

“Nah, pembagian apam tersebut kebetulan pada saat bulan Safar. Apam kukus ini sebagai perwujudan doa menghalau keong emas. Kemudian, masyarakat mengatakan ini adalah apam kukus keong emas,” kata dia.

Pada saat itu, Surojo menyampaikan apam belum disebar seperti saat ini. Apam dibagikan dari satu tempat ke tempat lain. Lebih lanjut, ia menjelaskan tidak ada catatan pasti kapan pembuatan apam kukus keong emas mulai menjadi tradisi.

Namun, ia memperkirakan tradisi itu dimulai saat pemerintahan PB VII (berkuasa pada 1830-1858). Tradisi tersebut diadakan setelah adanya Perang Diponegoro. Sementara Yosodipuro II menjadi pujangga kerajaan di masa PB IV hingga PB VII.

“Sehingga untuk tahunnya kemungkinan pada 1830-an. Tradisi ini sempat berhenti pada zaman penjajahan Jepang. Kemudian kembali hidup sewaktu agresi militer Belanda 1950-an itu mulai ada sebaran. Lalu, pada akhir zaman Orde Baru modelnya berubah ada kirabnya sampai sekarang,” kata dia.

Filosofi Janur

Surojo mengatakan apam khas Pengging memiliki keunikan karena dimasak dengan cara dikukus, bukan digoreng seperti apam pada umumnya. Bungkus apam juga bukan dari plastik akan tetapi janur kuning.

Bahan apam dimasukkan ke dalam janur berbentuk kerucut mirip rumah keong. “Untuk bahannya sama dengan apam yang lain, ya tepung beras, ketan, dan lain sebagainya,” kata dia.

Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Boyolali, Budi Prasetyaningsih, menyampaikan acara sebaran apam kukus keong emas sempat terhenti karena pandemi Covid-19.

Namun, warga sekitar secara kecil-kecilan tetap membuat apam kukus keong emas. Kemudian, pada 2023 ini kembali digelar tradisi sebaran apam kukus keong emas.

Ia mengatakan perbedaan apam kukus keong emas dengan apam yang lain adalah cara memasaknya yang dikukus dan dibungkus dengan janur. “Filosofi janur itu nur, cahaya. Dengan harapan mendapatkan cahaya dari Allah SWT,” kata perempuan yang akrab disapa Ning tersebut.

Tradisi tersebut sekaligus sebagai wujud ungkapkan terima kasih kepada Allah SWT atas panen yang berhasil. Ia mengatakan pada tradisi sebaran apam keong emas pada 2023 di Pengging, Banyudono, Boyolali, ada 30.000 apam yang disebar. Jumlah tersebut terbagi menjadi apam kukus keong emas dan apam biasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya