SOLOPOS.COM - Suwarni, 48, merajut bilah bambu menjadi tumbu di samping rumahnya di Dukuh Jati Gowok, Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Sabtu (20/1/2024). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Dukuh Jati Gowok yang terletak di atas perbukitan Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen, dikenal sebagai Kampung Tumbu. Ini lantaran mayoritas penduduknya bekerja sebagai pembuat kerajinan tumbu secara turun-temurun.

Tumbu adalah bakul besar yang dibuat dari bambu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dukuh Jati Gowok dihuni 58 keluarga yang tergabung satu lingkungan rukun tetangga (RT), yakni RT 025. Perajin tumbu di sana didominasi para ibu-ibu karena kaum laki-laki kebanyakan merantau menjadi buruh bangunan sampai Jakarta.

Salah satunya Suwarni. Ia menjadi pengrajin tumbu sudah lebih 25 tahun, yakni sejak anak sulungnya berumur setahun dan sekarang sudah menikah. Dia mewarisi kemampuan membuat tumbu dari orang tuanya. Membuat tumbu menjadi pekerjaan sampingan wanita 48 tahun itu untuk bisa menambah pendapatan keluarga.

“Pekerjaan utamanya ya ternak kambing. Saya memiliki tujuh ekor kambing jenis randu. Kalau suami biasanya merantau bekerja bangunan di Jakarta. Kalau pulang dua bulan sekali. Kalau pas tidak merantau ya ikut membantu membuat tumbu,” ujar Suwarni saat berbincang dengan wartawan baru-baru ini.

Tangan Suwarni cukup cekatan. Dalam sehari ia bisa menghasilkan 10 buah tumbu dari bambu jenis apus atau pringapus. Bambung itu didatangkan dari Karanganyar seharga Rp20.000 per batang. Setiap batang bambu apus itu bisa menghasilkan 20 buah tumbu.

“Tumbu yang sudah jadi dijual dengan harga Rp5.000 per buah. Biasanya dijual ke Pasar Pelang dan Pasar Blimbing Sambirejo. Dalam sebulan ya Rp500.000 dapat. Bisa untuk uang saku anak sekolah,” ujarnya.

Proses pembuatannya cukup mudah dan dalam satu jam bisa menyelesaikan satu tumbu. Awalnya, bambu dipotong dengan ukuran tertentu. Kulit bambu dibersihkan dan dibelah-belah menjadi bagian tipis-tipis. Ketebalan belahan bambu itu tipis sekali, sekitar 1 milimeter saja.

Irisan bambu itu kemudian dianyam sedemikian rupa membentuk tumbu. Suwarni membuat tumbu dengan ukuran beragam sesuai kebutuhan. Perajin di sana menentukan ukuran tumbu dengan angka 5,6,7,8 hingga 9. Sebagai gambaran, tumbu ukuran 8 itu memiliki diameter kurang lebih 30 cm. Semakin tinggi ukuran semakin besar diameternya, begitu pun sebaliknya.

“Sehari biasanya bisa bikin 10 tumbu karena hanya pekerjaan sampingan. Di dukuh ini mayoritas warganya bikin tumbu. Sekitar 40 orang sih ada,” katanya.

Banyaknya warga yang membuat tumbu tak membuat Suwarni merasa tersaingi. Menurutnya rezeki sudah ada yang menentukan sehingga ia tak khawatir. “Kalau belum laku ya anggap saja belum rezeki,” ucapnya enteng.

Ketua RT 025 Jati Gowok, Suwardi, 48, membeberkan perajin tumbu di dukuhnya sudah ada turun-temurun sejak zaman simbah-simbah mereka dulu. Salah satu perintisnya adalah Mbak Manto Saliman yang sudah meninggal dunia.

“Dulu yang membuat hanya satu orang. Kemudian mengajari tetangga kanan kirinya hingga akhirnya satu dukuh membuat tumbu semua. Dari 58 keluarga, ada 40 keluarga yang menjadi perajin tumbu,” jelasnya.

Kapasitas produksi tumbu di Dukuh Jati Gowok terbilang lumayan. Dalam sehari, warga bisa membuat 200 buah tumbu berbagai ukuran. Kadang lebih dari itu.

Tumbu-tumbu itu nanti diambil oleh pengepul alias tengkulak untuk dijual ke Pasar Pelang, Pasar Blimbing hingga Pasar Kerjo di Kabupaten Karanganyar.

“Awalnya tumbu-tumbu ini hanya di jual ke pasar terdekat, seperti Pelang, Kadipiro, Jamus, dan Blimbing. Sekarang sudah diambili pengepul,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya