SOLOPOS.COM - Bangunan bekas pabrik goni di Delanggu, Klaten. (Instagram/@misterisolo)

Solopos.com, KLATEN — Gelombang aksi buruh dan petani di Kecamatan Delanggu, Klaten, pada 1948 lalu memiliki nilai penting bagi perjalanan sejarah, tidak hanya di Klaten tapi juga di kancah politik nasional.

Aksi buruh pada Mei-Juli 1948 merupakan aksi buruh pertama di Indonesia setelah proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Selain itu, peristiwa itu juga disebut menjadi awal dari rentetan pergolakan yang berujung pada Pemberontakan PKI Madiun pada 1948.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Saking pentingnya peristiwa ini dalam sejarah, banyak kalangan akademisi dan mahasiswa yang menjadikannya sebagai objek penelitian untuk skripsi, tesis, buku, dan lain-lain.

Seperti diketahui, Delanggu merupakan daerah yang makmur dengan tanah-tanahnya yang subur. Masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai petani. Sebagian besar tanah di Delanggu digunakan untuk daerah pertanian dan perkebunan.

Di tanah yang subur itu ditanami bahan makanan pokok dan tanaman bahan ekspor, seperti tebu dan tembakau. Petani-petani di Klaten ini biasanya menyewakan lahan pertaniannya kepada para pengusaha atau kerajaan.

Dengan demikian petani ada yang menjadi buruh untuk pengusaha serta ada pula petani yang mengurus lahannya sendiri tanpa menyewakannya kepada pengusaha. Selain daerah pertanian dan perkebunan, Delanggu juga menjadi daerah industri dengan berdirinya pabrik karung goni pada masa lalu.

Banyak warga yang menjadi buruh perkebunan maupun pabrik di Delanggu. Mengutip laman esi.kemdikbud.go.id, aksi buruh 1948 di Delanggu dilancarkan secara teratur dan masif oleh Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Berlangsung pada Mei-Juli 1948, peristiwa ini melibatkan ribuan buruh perkebunan kapas dan pabrik karung goni di Delanggu, yang kemudan menarik berbagai pihak lain. Gelombang aksi buruh 1948 di Delanggu, Klaten, bermula pada 17 Februari 1948.

Ketika itu, Sarbupri menyelenggarakan konferensi nasional yang dihadiri wakil-wakil Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Peserta konferensi menyepakati untuk membantu perjuangan BTI dan program-programnya.

Tuntut Kenaikan Upah

Pada 26 Februari 1948, Lembaga Buruh Tani (LBT) menggerakkan buruh kapas dan karung goni di Delanggu untuk menuntut diberikannya bahan sandang dan pangan kepada buruh musiman. Mereka mengancam mogok bila tuntutan tidak dipenuhi.

Eks Pabrik Karung Goni Delanggu gelombang aksi buruh delanggu klaten
Kondisi bangunan eks Pabrik Karung Goni Delanggu yang sebelumnya menjadi pabrik gula, Selasa (10/5/2022) siang. (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Pemogokan dimulai pada 26 Mei 1948 selama dua jam, dilanjutkan keesokan harinya selama setengah hari. Tuntutan ditujukan kepada Badan Tekstil Negara (BTN).

Negosiasi antara Sarbupri yang mewakili buruh dengan BTN gagal sehingga aksi mogok terus berlanjut hingga 16 Juni. Setelah melalui beberapa negosiasi, BTN tetap menolak tuntutan buruh terutama soal kenaikan upah.

Selanjutnya, dalam rapat besar yang dihadiri 8.000 buruh, LBT Delanggu melimpahkan pimpinan atas tuntutan buruh kepada SOBSI. Pada perundingan 17 Juni 1948, Menteri Kemakmuran dan Menteri Urusan Perburuhan dan Sosial ikut turun tangan.

Namun ternyata tetap tidak tercapai kesepakatan antara kedua pihak yang berseteru dan aksi mogok pun terus berlanjut. Pada 23 Juni 1948, pemogokan diikuti 15.567 buruh pabrik goni dan tujuh perkebunan kapas.

Para pemogok meletakkan bendera merah di lokasi mogok sebagai tanda bahwa semua pekerjaan harus dihentikan. Di sisi lain, buruh yang tidak terafiliasi dengan organisasi kiri terus bekerja tanpa mengindahkan seruan mogok massal.

Pada 26 Juni 1948, terjadi bentrokan antara anggota Sarekat Tani Islam Indonesia (STII) dengan buruh yang mogok. Sebagai reaksi atas bentrokan tersebut, LBT mengeluarkan pamflet yang berisi pernyataan aksi mogok bukanlah pemberontakan terhadap pemerintah dan permintaan agar aksi mereka tidak diprovokasi.

Pamflet tersebut ternyata malah memperkeruh situasi, ditambah lagi dengan datangnya Divisi Siliwangi ke kancang gelombang aksi buruh di Delanggu, Klaten. Pada 10 Juli, terjadi bentrokan lagi antara STII dan buruh yang mogok.

Guna menyelesaikan perkara pemogokan massal dan kekacauan tersebut, BP KNIP mengadakan sidang pada 9-10 Juli 1948, namun usaha ini juga gagal menemukan jalan keluar.

Lalu pada 16 Juli 1948, atas saran BP KNIP, Perdana Menteri Hatta mengadakan rapat di Delanggu untuk menyelesaikan perkara pemogokan buruh. Pemerintah pun akhirnya menerima semua tuntutan LBT.

Tiga Gelombang Aksi

Hasil rapat tersebut disiarkan melalui radio Yogyakarta dan pada 18 Juli 1948 buruh yang mogok kembali bekerja. Tulisan ilmiah berjudul Gerakan Buruh dan Petani Pabrik Karung di Delanggu Klaten Tahun 1948 karya Adi Nurwicaksono dari UKSW menyebutkan penyebab munculnya gelombang aksi buruh itu karena kesenjangan gaji yang cukup besar antara buruh lapangan dengan buruh kantor (administrasi).

penunggu pabrik karung goni klaten misteri gelombang aksi buruh
Rumah pegawai pabrik karung goni di Delanggu, Klaten. Foto diambil sekitar 1920. (Colonial Architecture and Town Planning)

Disebutkan, perkebunan kapas dan rosela di Delanggu terdapat 6.765 buruh lepas dari total 82.000 buruh pada tujuh perkebunan milik BTN. Buruh-buruh ini secara alami terbagi menjadi dua golongan.

Ada golongan pegawai administrasi yang bekerja di kantor dan buruh yang bekerja di lapangan. Kedua golongan buruh ini mempunyai gaji yang berbeda bahkan terpaut selisih yang jauh.

Gaji para buruh lapang yang kecil menyebabkan mereka tidak bisa hidup berkecukupan. Kondisi itu memunculkan peluang bagi beberapa kelompok untuk memprovokasi agar para buruh mau melakukan gerakan protes.

Gelombang aksi buruh pun terjadi bermula dari Konferensi Besar Delanggu yang dihadiri para pemimpin perjuangan buruh. Konferensi ini dipimpin Drs Maruto Darusman selama dua hari. Sebelum konferensi berlangsung mereka terlebih dahulu mengucapkan Sumpah Delanggu.



Sumpah Delanggu memiliki arti bahwa kaum buruh perkebunan tidak mau dipecah belah. Gerakan buruh di Delanggu, Klaten, terjadi dalam tiga gelombang atau tahapan aksi.

Gelombang pertama berlangsung pada 19-25 Mei 1948 di Solo dan Delanggu. Gelombang kedua pada 26 Mei-3 Juni 1948 sementara Gelombang ketiga pada 23 Juni-17 Juli 1948.

Tuntutan para buruh kepada para pengusaha itu antara lain BTN mencabut inpassing gaji, memberikan bahan pakaian tiga meter tiap bulan, dan jaminan makanan (beras) kepada buruh.

Penyelesaian gerakan buruh di Delanggu melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, BTN, dan SOBSI. Pemerintah memegang peranan penting karena dengan cepat merespons tuntutan para buruh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya