SOLOPOS.COM - Agus Riewanto. (Istimewa)

Solopos.com, SUKOHARJO—Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto menilai tak ada diskriminasi kepada penyandang disabilitas atau orang difabel dalam proses pemilihan suara.

Meski demikian, Konsultan Hukum dan ahli Pemilu/Pilkada, serta Saksi Ahli Hukum di Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri itu mengakui masih ada diskriminasi pada pencalonan disabilitas. Hal itu diungkapkan Agus Riewanto melalui sambungan telepon pada Rabu (3/1/2024) kepada Solopos.com.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Narasumber ahli bidang hukum dan perundangan-undangan di berbagai lembaga negara di pusat dan daerah itu menyatakan di dalam konstitusi di UU 1945 tidak ada perbedaan antara warga negara dalam menggunakan hak pilih. Menurutnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk disabilitas.

Agus Riewanto yang menjadi salah satu panelis debat perdana Capres-Cawapres Pemilu 2024 pada Selasa (12/12/2023) menambahkan dalam konteks konstitusi, Indonesia merupakan negara yang menghormati dan menghargai fungsi penyelenggaraan pemerintahan salah satunya pemilu.

Lantaran pemilu menjadi upaya merotasi kekuasaan politik untuk melaksanakan fungsi pemerintahan melalui pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga Presiden.

“Itu sudah diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam hak pemilih. Komisi Pemilihan Umum [KPU] bahkan harus melayani semua pemilih dengan posisi yang sama tanpa ada diskriminasi termasuk difabel,” ungkapnya.

Dalam beberapa Peraturan KPU melalui daftar pemilih dan logistik pemilu, menurutnya KPU sudah mengakomodasi disabilitas sama seperti pemilih yang lain. Misalnya disediakan surat suara yang berbeda contohnya braille bagi penyandang tunanetra. Bahkan pendamping pada saat di tempat pemungutan suara (TPS) untuk membantu pemilih menggunakan hak pilihnya tanpa mengarahkan.

“Kalau dikonstruksikan dalam KPU, memanjemen Pemilu itu sudah diketahui mulai dari KPPS hingga KPU kabupaten/kota yang sudah mempunyai standar pelayanan baku,” ungkap Tim Ahli Pemeriksa Sengketa Peraturan Perundang-undangan Kemeterian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham RI) sejak 2017-sekarang itu.

Namun, Tenaga Ahli Hukum DPRD Kabupaten Sragen sejak 2019-sekarang itu menilai kelompok disabilitas merupakan minoritas. Sehingga gaungnya tidak besar terutama terhadap partai politik maupun tim kampanye presiden dan wakil presiden.

Padahal, ia menyebut jika diakumulasikan suara disabilitas cukup besar dan memiliki pengaruh terhadap keterpilihan presiden maupun anggota legislatif.

Ia menilai sebaiknya partai politik dan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) bisa mengakomodasi kebutuhan disabilitas. Misalnya melakukan kampanye yang spesifik pada mereka. Termasuk mengangkat isu-isu yang menghormati mereka seperti janji kesejahteraan, kemuliaan hingga kesetaraan yang lekat dengan kebutuhan disabilitas.

Panelis Ahli dan Moderator pada Debat Publik Kampanye Pilkada di Kabupaten/Kota Se Jawa Tengah sejak 2015-sekarang ini menyebut dalam konstruksi sosial disabilitas masih dianggap sebagai kelas nomor dua.

Mestinya dengan istilah difabel, mereka dianggap sebagai orang yang sama dengan yang lain namun mempunyai bakat yang berbeda.
“Sebetulnya konstruksi konstitusi sudah tidak memberikan perbedaan pada disabilitas namun dalam pelayanan untuk menjadi caleg maupun capres dan cawapres masih diskriminatif. Pemilihan tidak ada diskriminasi hanya pencalonannya,” tegas Agus.

Isu Kampanye Tak Membahas Disabilitas

Ia membeberkan dalam proses pemilu tidak diatur secara pasti bagaimana menjadi caleg maupun presiden wakil presiden. Persyaratannya hanya ada dua yaitu syarat calon yang melekat pada diri calon dan pencalonan yang diajukan partai politik.

Agus menyebut kedua syarat itu tidak spesifik menyebut difabel, tetapi syarat sehat jasmani dan rohani kerap menjadi masalah. Karena masih dimaknai sehat jasmani merupakan sehat secara fisik. Sementara kekurangan difabel paling nyata adalah fisiknya.

“Kita hanya punya presiden difabel satu kali pada masa Gusdur [Abdurrahman Wahid] setelah itu tidak mungkin terjadi lagi, karena pada 2004 ketika dia mencalonkan kedua kalinya muncullah syarat sehat jasmani dan rohani. Pada 1999 belum ada dan disempurnakan pada 2004 yang dipakai sampai saat ini,” beber Agus.

Agus juga menilai selama ini KPU sudah mengakomodasi terkait pendidikan politik bagi kaum disabilitas. Bahkan KPU sudah memetakan konstituen yang diberikan pendidikan politik siapa saja salah satunya yakni difabel. Justru yang menjadi masalah menurutnya berada ditingkat partai politik dan juga tim kampanye presiden dan wakil presiden.

Bahkan isu kampanye selama ini tidak membahas kaum disabilitas. “Buat saya perlu kesadaran bagi partai untuk membawa isu difabel dalam kampanye. Termasuk meberikan mereka kesempatan. Menempatkan difabel tidak hanya berhenti pada pemilu tetapi juga setelah pemilu,” kata Agus.

Sementara itu, calon anggota legislatif (caleg) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di daerah pilihan (dapil) 3 Sukoharjo, Debora Melani Rian Astuti, menilai satu suara disabilitas berarti untuk kemajuan demokrasi di Indonesia.

“Saya dari PDI Perjuangan yang selalu ditegaskan oleh Ibu Ketua Umum kami untuk selalu turun ke bawah langsung mendengarkan dan melihat apa yang ada di masyarakat termasuk pada penyandang disabilitas,” ungkap caleg yang disapa Deby itu.

Dalam masa kampanye ia mengaku banyak bertemu penyandang disabilitas dan atau keluarganya untuk mendengar langsung aspirasi mereka. Selaras dengan program PDI Perjuangan ia mengaku terus berupaya memenuhi kebutuhan disabilitas untuk bantuan penunjang fisik. Di antaranya ia melakukan penyaluran bantuan berupa kursi roda maupun alat bantu jalan lainnya.

Ia juga menjanjikan pelatihan keterampilan mandiri yang ditujukan khusus untuk disabilitas agar lebih mandiri dalam berkarya. Hal itu untuk menunjang kepercayaan diri mereka sekaligus agar mereka bisa berkontribusi di masyarakat.

Sementara itu caleg lain yang diusug Partai Golkar, Machmud Lutfi Huzain, 33 menjanjikan akan menyerahkan gaji dan tunjangannya ke tiga golongan rentan yakni anak yatim, duafa, dan disabilitas apabila terpilih menjadi anggota legislatif di tanah kelahirannya, Sukoharjo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya