SOLOPOS.COM - Penyandang disabilitas daksa, asal Bulu, Sukoharjo, Warsono (berkaus putih), bersama penyandang disabilitas mental asal Baki, Sukoharjo, Supardi, di Gayam. Sukoharjo, Senin (22/12/2203). (Solopos/Magdalena Naviriana Putri)

Solopos.com, SUKOHARJO — Para penyandang disabilitas atau orang difabel memiliki hak yang sama untuk memilih dalam Pemilu seperti warga negara Indonesia lainnya. Namun, kondisi keterbatasan membuat perjuangan mereka untuk menyalurkan hak pilih setiap penyelenggaraan Pemilu menjadi lebih berat.

Seperti yang dialami Warsono, seorang penyandang disabilitas daksa asal Ngasinan, Bulu, Sukoharjo. Penyakit kusta yang dialaminya pada 2012 lalu membuat kakinya harus diamputasi. Kepada Solopos.com, ia menceritakan perjuangannya agar bisa menyalurkan hak pilih pada Pemilu 2014 lalu.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

“Pada Pemilu 2014 lalu saya sakit, saya bela-belain untuk memilih. Saya sempat diminta untuk tidak memilih karena keadaan saya. Tetapi saya merasa sayang, satu suara saya bisa menentukan lima tahun ke depan,” cerita Warsono saat berbincang dengan Solopos.com di Gayam, Sukoharjo, Senin (22/12/2023).

Para Pilpres 2019, perjuangan Warsono yang seorang difabel untuk menggunakan hak pilihnya di Sukoharjo lebih berat lagi. “Pada [Pilpres] 2019 saya dari Jepara ke Sukoharjo bahkan sempat sewa travel agar bisa memilih,” kisahnya.

Meski merogoh kocek hingga Rp2 juta untuk transportasi pulang kampung dari rumah istrinya di Jepara ke Sukoharjo, Warsono mengaku puas bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu itu. Ia meminta para pemilih mengubah pola pikir karena selama ini masih banyak yang jadi golongan putih (golput).

Ia menyayangkan para pemilih yang punya kesempatan dan akses mudah tapi tidak menggunakan hak pilihnya. “Setahu saya 2014 dan 2019 banyak yang tidak memilih, selain akses yang sulit bagi kaum penyandang disabilitas, tidak ada yang mengantar. Sampai di lokasi pemilihan bingung,” ungkap pria yang sering mengendarai kendaraan roda tiga saat bepergian itu.

Oleh karena itu, warga Sukoharjo itu berharap pemilu mendatang lebih inklusif sehingga mampu merangkul lebih banyak kaum minoritas untuk menggunakan hak pilih terutama orang difabel seperti dirinya. Lebih dari itu, ia berharap rekan-rekannya sesama penyandang disabilitas ada yang punya kesempatan menduduki kursi kepemimpinan.

Warsono mengaku saat ini tak cukup dekat dengan para calon anggota legislatif (caleg) yang menjadi peserta Pemilu 2024. Namun ia berupaya mengorek lebih dalam mengenai para caleg maupun capres-cawapres melalui media sosial dan berbagai sumber berita lainnya.

Ia juga tak mau termakan janji politik para caleg. Ia hanya berharap pada penyandang disabilitas mendapat perhatian. “Tolonglah perhatiin teman-teman difabel yang belum dapat fasilitas dan hak difabel. Kami tidak minta dikasihani tetapi beri kami kesempatan, insyaallah kami bisa,” ungkapnya.

Pemilu Inklusif

Warsono bukanlah satu-satunya difabel di Sukoharjo yang bersemangat menyalurkan hak pilih dalam pemilu. Semangat kelompok minoritas di Sukoharjo untuk menggunakan suara mereka dalam Pemilu 2024 juga dilakukan oleh yang lainnya.

Meski memiliki keterbatasan, sejumlah penyandang disabilitas di Sukoharjo memiliki keinginan kuat dalam menggunakan hak pilih mereka. Harapan mereka hanya satu, tahun ini pemilu bisa terlaksana lebih inklusif dengan memperhatikan hak mereka. Juga ketika para pemimpin tersebut dipilih, hak mereka harus terpenuhi.

Seperti yang disampaikan penyandang disabilitas mental asal Tegalsari, Bakipandeyan, Baki, Sukoharjo, Supardi, 37. Selain akses bagi penyandang disabilitas, ke depan ia juga meminta penyandang disabilitas mental dijauhkan dari stigma buruk yang lekat dengan label orang gila.

Padahal menurutnya tidak semua penyandang disabilitas mental itu gila. Sebagai penderita bipolar ia merasa tidak memiliki kesulitan dalam memilih. Bahkan ia menegaskan akan menggunakan hak pilihnya sebagai difabel pada pemilu mendatang di Sukoharjo.

“Biasanya kami dinilai terbelakang, tidak ada manfaatnya. Kalau gangguan jiwa diidentikkan dengan orang gila kami sudah ngedrop dulu. Padahal saya masih bisa berpartisipasi,” tutur Supardi.

Ia menceritakan penderita gangguan jiwa memiliki beberapa fase, ada yang menderita gangguan jiwa berat hingga yang sedang melakukan penyembuhan. Tidak semua penderita gangguan jiwa mendapatkan hak untuk memilih.

Hanya penderita dalam kondisi stabil yang berhak memilih secara langsung. Bagi Supardi dan rekan senasibnya yang cukup stabil mereka tidak perlu membawa surat keterangan sehat dari psikiater.

“Saya sempat ditawari untuk jadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara [KPPS] tapi saya menolak. Karena sebagai difabel mental kalau sedang mood bisa mengerjakan tugas dengan lancar. Tapi kalau sedang ngedrop, susah. Saya mengonsumsi obat agar stabil,” ceritanya.

Selama ini, ia menilai kebijakan pemerintah sudah bagus, hanya kurang tersosialisasikan. Bahkan tidak sedikit pegawai pemerintah yang kurang perhatian penyandang disabilitas terutama dalam pelayanan publik. Pendidikan politik, menurut Supardi, sangat diperlukan bagi penyandang disabilitas.

Ia berharap melalui pemilu nanti wakil rakyat yang terpilih mampu memberikan harapan baru bagi kaum difabel di Sukoharjo, terutama pada akses pelayanan publik.

hak pilih difabel sukoharjo
Ketua Paguyuban Difabel Sehati Sukoharjo, Edy Supriyanto, di Gayam, Sukoharjo, Senin (22/12/2203). (Solopos/Magdalena Naviriana Putri)

Sementara itu, Ketua Paguyuban Difabel Sehati Sukoharjo, Edy Supriyanto, mengakui Pemilu 2024 menjadi tantangan bagi penyandang disabilitas terutama berkaitan dengan partisipasi dan aksesibilitas. Edy menceritakan pada pemilu sebelumnya ada sukarelawan demokrasi dari kalangan difabel yang menjangkau komunitasnya.

Aksesibilitas TPS

Tahun ini ia mengaku belum memperoleh informasi terkait hal itu. Ia juga mencatat pada pemilu kali ini partisipasi penyandang disabilitas masih minim terutama sebagai penyelenggara pemilu.

“Dulu ada yang menjadi Panitia Pemungutan Suara [PPS]. Saat ini hanya ada satu pengawas penyandang disabilitas. Kekhawatiran selanjutnya soal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di TPS,” ungkap Edy.

Pada pengalaman sebelumnya yakni 2019 dan Pilkada 2020, ia mengaku telah memberikan rekomendasi mengenai minimnya aksesibilitas bagi difabel. Tak hanya soal akses fisik, Edy juga berharap kelompok difabel juga mendapat pendidikan politik lebih mendalam agar partisipasinya meningkat.

Saat ini ia mengaku penyandang disabilitas dalam komunitasnya hanya mendapat informasi visi-misi caleg hingga pasangan calon presiden dan wakil presiden dari media sosial dan alat peraga. Bahkan menurutnya selama ini belum ada peserta pemilu yang berusaha menyosialisasikan visi-misi itu ke komunitasnya.

“Belum ada, tetapi sebelumnya malah ada beberapa parpol mencoba menggandeng kami untuk jadi caleg. Tetapi secara organisasi kami tidak ikut politik praktis,” ungkapnya.

Edy mengakui penyandang disabilitas memiliki kerentanan lebih tinggi dibanding masyarakat lain. Mulai dari penghidupan, penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam akses pekerjaan dan pendidikan. Bahkan untuk akses kesehatan mereka harus berjuang seperti nondisabilitas.

Selain berharap memiliki ruang publik yang ramah, ke depan ia membutuhkan kebijakan affirmatif berkaitan dengan kebutuhan sebagai penyandang disabilitas.

“Kami ingin sekali mendapatkan pendidikan politik. Bagaimana berpolitik yang baik, berdemokrasi. Kemudian kalau ada caleg yang memang menjabat nantinya tolong kami dilibatkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Karena selama ini kami masih merasakan minim partisipasi dalam perencanaan pembangunan,” ungkapnya.

Berdasarkan catatan Solopos.com, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sukoharjo telah merilis daftar pemilih tetap (DPT) kelompok penyandang disabilitas pada Pemilu 2024. Jumlah tersebut kurang dari 1% dari total jumlah pemilih di Sukoharjo.

Ketua KPU Sukoharjo, Syakbani Eko Raharjo, mengatakan total pemilih dari kalangan difabel di Sukoharjo mencapai 6.045 orang atau 0,0089% dari total jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 678.576 orang.

Jumlah tersebut didominasi penyandang disabilitas fisik sebanyak 2.865 orang. Kemudian penyandang disabilitas mental sebanyak 1.591 orang, disabilitas sensorik wicara 588 orang, disabilitas sensorik netra 568 orang, disabilitas intelektual 239 orang, serta disabilitas sensorik rungu 194 orang.

Pendamping Difabel di TPS

“Semaksimal mungkin KPU Sukoharjo memastikan pembuatan tempat pemungutan suara [TPS] ramah difabel,” ungkap Syakbani kepada Solopos.com, Rabu (3/1/2023).

Syakbani mengakui akses ke lokasi TPS sering dikeluhkan sebagai salah satu faktor hambatan kaum difabel ketika memberikan hak suaranya dalam Pemilu. Lebih lanjut, Syakbani mengatakan selama ini KPU Sukoharjo telah melakukan sosialisasi soal Pemilu, misalnya kepada penyandang disabilitas netra.



Dalam sosialisasi itu disampaikan penyandang disabilitas netra akan mendapat template khusus surat suara untuk mencoblos. Ia juga memastikan sama seperti pemilu sebelumnya, penyandang disabilitas akan mendapat pendamping dalam pemungutan suara.

Pendamping tersebut harus memenuhi pesyaratan dan mengisi formulir pendamping. Syakbani menegaskan meski penyandang disabilitas boleh didampingi saat melakukan pemilihan di TPS.

Namun pendamping harus atas permintaan penyandang disabilitas, bukan karena disuruh orang lain. Hal itu untuk memastikan kerahasiaan saat memilih tetap terjaga.

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sukoharjo, Rochmad Basuki, mengatakan penyandang disabilitas mendapat hak yang sama sebagai pemilih. Hanya, ia mengakui penyelenggara pemilu perlu lebih mendalami kebutuhan disabilitas dalam memilih.

“Kalau difabel fisik kami lebih mudah dalam memitigasi kebutuhan teman-teman ini. Hanya sependek pengetahuan saya, justru dari keluarga penyandang disabilitas mental biasanya menyembunyikan atau tidak membolehkan mereka memilih. Mungkin karena malu atau hal lainnya, ini memang perlu pendalaman lebih jauh,” ungkap Rochmad.

Saat pemungutan suara, Bawaslu akan memastikan TPS ramah difabel. Misalnya jika di lingkungan TPS tersebut ada penyandang disabilitas daksa berkursi roda, harus dipastikan TPS tersebut bisa dilalui kursi roda.

Selain itu saat pemungutan suara, pendamping yang ditunjuk hanya boleh mendampingi sampai pintu masuk bilik. Apabila penyandang disabilitas membutuhkan pendampingan sampai mencoblos, petugas pendamping harus bersedia menandatangani surat pernyataan tidak membocorkan pilihan orang yang didampinginya.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya