SOLOPOS.COM - Kuasa hukum korban, Hendra Buana Wahyuadi, berdiri di depan pintu ruang sidang kasus anak yang digelar tertutup di PN Sragen, Selasa (24/10/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Pengadilan Negeri Sragen menggelar sidang perdana kasus pengeroyokan dengan lima terdakwa, satu di antaranya masih di bawah umur, pada Selasa (24/10/2023). Sementara korban kasus pengeroyokan tersebut adalah seorang siswa Kelas XII SMK di Madiun berinisial AM, 16. Korban mengalami cacat permanen berupa kebutaan pada mata kirinya akibat tindak pengeroyokan tersebut yang berlangsung pada 9 Juli 2023.

Kelima terdakwa tersebut yakni  FRP, 16; FAR, 23; YLM, 19; SAPR, 23; dan FRD, 18. Mereka adalah anggota salah satu perguruan silat di Sragen. Sidang pengeroyokan tersebut dibagi dua, pertama dengan terdakwa FRP yang masih di bawah umur, sidang kedua untuk keempat terdakwa lain yang sudah dewasa.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Karena kasus pengeroyokan ini melibatkan anggota dua perguruan silat proses persidangan dijaga ketat aparat dari Satuan Samapta Polres Sragen. Pengeroyokan itu terjadi di Jl;. HOS Cokroaminoto, tepatnya di selatan Terminal Sragen lama.

Kuasa hukum korban dari Kantor Wijaya Buana Law Firm Sragen, Hendra Buana Wahyuadi, mendampingi korban yang mengalami cacat permanen pada mata kirinya. Sidang tersebut juga dihadiri orang tua korban. Hendra mengatakan kliennya mengajukan restitusi atau ganti rugi atas cacat permanen yang dialami korban. Nilai restitusi yang diajukan keluarga korban masih menunggu hasil penghitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Kasus restitusi ini merupakan kasus pertama di Kabupaten Sragen agar menjadi efek jera bagi para pesilat agar tidak terulang lagi. Restitusi kamu ajukan untuk ganti rugi atas biaya medis, transportasi selama pengobatan, konsumsi selama sakit, biaya pengacara, dan biaya penderitaan,” ujarnya.

Dalam persidangan berikutnya, Hendra kemungkinan akan menghadirkan LPSK. Hak restitusi itu, sambungnya, diatur dalam Peraturan Mahkmah Agung (Perma) No. 1/2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.

Tergantung Hakim

Hendra sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen terkait pengajuan restitusi tersebut dan jawabannya memungkinkan. Keputusan diterima atau tidaknya, kata dia, tergantung putusan hakim.

“Dalam Perma itu diatur korban tindak pidana terkait dengan anak serta tindak pidana lainnya bisa mendapat restitusi yang ditetapkan LPSK. Restitusi itu berupa kerugian material dan imaterial yang ditimbulkan akibat tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perma itu,” ujarnya.

Hendra mencermati kasus pidana yang berkaitan anggota perguruan silat di Sragen selama dua tahun terakhir rata-rata melibatkan warga berumur 17-23 tahun. Dia berharap ada pembinaan bagi pesilat di rentang umur tersebut.

Sementara itu, Orang tua korban, Sarwo, menerangkan mata kiri anaknya kini cacat permanen. “Saat pelajaran ya terganggu. Kami mengajukan restitusi untuk meminta keadilan,” jelasnya.

Terpisah, Kasi Pidana Umum Kejari Sragen, Kunto Tri Hatmojo, menyambut baik pengajuan restitusi dari korban pengeroyokan. “Restitusi ini merupakan kasus pertama di Sragen. Berapa nilainya, biar LPSK yang menghitung. Restitusi itu bisa diajukan bersamaan dengan tuntutan atau terpisah dari tuntutan. Jadi dari lima terdakwa itu, ada terdakwa anak yang menggunakan alat sehingga mengakibagkan cacat permanen pada mata korban,” jelas Kunto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya