SOLOPOS.COM - Spanduk rokok di warung yang bersampingan dengan SMP 3 Kristen Solo, Sabtu (28/10/2023). (Istimewa/Pemuda Penggerak)

Solopos.com, SOLO — Sebungkus rokok dan satu unit vaporizer diletakkan bersisihan di meja di salah satu warung kopi di Kecamatan Banjarsari, Solo, Sabtu (21/10/2023) malam. Empunya kedua barang itu adalah Dio dan Bimo, dua pelajar SMA/SMK asal Kota Bengawan yang telah menjadi perokok anak sejak beberapa tahun lalu.

Mereka sudah mencecap rokok sejak berumur 12 tahun atau saat masih duduk di bangku SD. Dio, yang kini berusia 17 tahun mengaku kali pertama merokok lantaran ingin menjajal sensasinya. Terlebih, ayahnya juga seorang perokok.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Kali pertama merokok itu dari sisa rokok yang dibuang. Saya ambil lalu saya hisap. Penasaran karena sering lihat (orang merokok) kelihatan keren begitu. Tapi saya setop, kemudian beberapa tahun setelahnya (kelas IX SMP) merokok terus sampai sekarang,” kata Dio.

Dio mengaku kebiasaannya merokok itu sudah diketahui oleh kedua orang tuanya. Sang ibu kecewa karena tahu Dio mulai merokok di usia yang masih belia.

“Kebiasaan merokok semakin kencang karena saat kumpul-kumpul (bareng teman) itu pasti merokok. Sepulang sekolah pasti nongkrong di salah satu warung yang jaraknya enggak jauh dari sekolah. Nah, warung ini jual merokok ketengan (eceran/batangan), jadi paling beli satu atau dua batang sehari. Jarak warung dari sekolah mungkin 300 meter,” ungkapnya.

Warung tersebut seolah menjadi basecamp kumpul bareng teman-temannya. Kalaupun tak membeli eceran, mereka patungan untuk membeli satu pack yang lantas dihisap berbarengan. “Ada dua warung, satunya sangat dekat dengan sekolah, satu lagi agak masuk gang kecil,” cerita Dio.

Cerita hampir mirip disampaikan Bimo yang mulai merokok sejak berusia 13 tahun. Orang tuanya justru tak melarang sama sekali, asal tidak membeli rokok menggunakan uang saku. 

Bimo lantas bekerja membantu orang tuanya untuk mendapatkan upah. Upah itulah yang digunakannya untuk membeli rokok.

“Sama seperti Dio, ada warung yang jadi tempat nongkrong dekat sekolah. Di sekolah sendiri saya lihat guru merokok saat jam istirahat. Di dekat kantin juga ada tempat merokok, meski terbatas untuk guru. Tapi pernah saya ditawari rokok oleh pedagang di kantin, meski mereka enggak jual rokok,” ucapnya.

Bimo mengaku jali pertama merokok lantaran di-bully oleh temannya. “Kowe ora ngerokok ora lanang, hlo. (Kamu bukan laki-laki kalau tidak merokok). Olok-olok setiap hari itu bikin saya coba-coba sampai akhirnya keterusan,” kata dia. 

Dio dan Bimo mengaku sudah mengetahui efek negatif dan bahaya dari merokok. Namun saat ini, keduanya belum ingin berhenti meski punya keinginan untuk berhenti.

“Ya, pengin berhenti. Tapi rasanya badan saya aneh kalau tidak merokok. Apalagi saat pikiran sedang berat, banyak tugas, kepala rasanya pusing dan bisa rileks kalau merokok,” ucap Bimo.

Prevalensi Perokok Anak Kian Tinggi, Mulai Merokok Sejak SD karena Dibully
Sebungkus rokok dan vaporizer milik dua perokok anak di Solo, Senin (16/10/2023). (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Keterangan Dio dan Bimo sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Yayasan Kepedulian untuk Anak (Kakak) Solo yang menemukan  jumlah perokok anak di Solo yang mengalami peningkatan setiap tahun.

Survei pertama yang digelar pada 2020 menyasar 100 anak dengan metode wawancara mendalam. Hasilnya, persentase anak merokok usia di bawah 12 tahun sebanyak 58,80 persen, usia 13 sampai 15 tahun sebanyak 31,40 persen, dan 9,80 persen usia 16 hingga 18 tahun.Salah satu perokok paling dini dilakukan usia SD kelas 5. Sementara usia perokok anak paling kecil usia SD kelas 2 atau kelas 3.

Survei kemudian diulangi dengan menambah ruang lingkup lebih besar yakni Solo, Karanganyar, Sukoharjo, dan Sragen yang menyasar 400 anak.

Hasilnya, perokok pemula mulai mengonsumsi rokok pada saat duduk di bangku SD atau kisaran usia 9 hingga 11 tahun.

Rata-rata paling banyak anak yang sudah merokok bisa menghabiskan 10 sampai 15 batang rokok per hari. Hasil riset juga menunjukkan anak-anak tersebut sudah mengenal rokok, bukan baru saja mengenal. Riset tersebut dilakukan pada anak dengan tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA.

Programer Yayasan Kakak, Nung, mengatakan survei pada 2022 itu juga memuat pertanyaan berapa batang rokok yang dihabiskan dalam sehari. Hasilnya, ada yang sehari itu tiga sampai lima batang, ada lima sampai tujuh batang. 

Karena rokok bersifat adiktif, yang menjadi persoalan yaitu ketika perokok pemula sudah mencoba biasanya ada keinginan mencoba lagi.

Selain itu, jumlah konsumsi rokok per batangnya akan semakin meningkat. Nung menjelaskan dalam risetnya juga terdapat pertanyaan kondisi ketika perokok pemula mencoba berhenti merokok.

“Jawabannya adalah ada rasa yang tidak enak dalam tubuh mereka. Pusinglah, mulut pahitlah, resah lah, tidak bisa tidur lah, itu sebenarnya adalah tanda-tanda bahwa mereka sudah terpapar dengan zat adiktif itu,” terang dia.

Riset juga menanyakan sejumlah hal yang membuat perokok pemula memutuskan untuk merokok. Pertama karena pengaruh lingkungan, dari keluarga terdekat.

Apabila salah satu anggota keluarga terdapat seorang perokok, hal itu mendorong anak-anak untuk ikut mencoba. Kemudian, dari lingkungan pergaulan anak bisa mendorong dan menguatkan mereka  menjadi seorang perokok.

Prevalensi Perokok Anak Kian Tinggi, Mulai Merokok Sejak SD karena Dibully
Riset perokok anak di Solo oleh Yayasan Kakak pada 2022. (Solopos.com/Istimewa)

“Yang terakhir, dia tahu produk, dia tahu rasanya enak, dia tahu harganya terjangkau itu dari iklan-iklan yang sering mereka lihat. Iklan yang mencantumkan harga, iklan yang membuat anak-anak berpikir lebih sehat, itu juga mendorong mereka,” ujarnya.



Dari hasil konsultasi para pelaku terkait dampak rokok terhadap tubuhnya, mereka mengaku rokok membuat kesehatan tubuhnya terganggu. Kalau tidak merokok, badan jadi pusing, mual, deg-degan, dan lainnya.

Karena perokok anak kebanyakan dari keluarga miskin, sambungnya, akses mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga rendah, kebanyakan mereka bila punya keluhan tidak dibawa ke tenaga kesehatan.

Ketiga, ada beberapa dari perokok anak, mendorong mereka terjerumus dalam persoalan sosial. Ketika tidak ada rokok, akhirnya mendorong mereka untuk mencuri punya bapaknya, temannya, bahkan ada beberapa kasus, mereka mencurinya di warung.

Hasil riset Global Adult Tobacco Survey (GYTS) yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), menyebutkan faktor krusial yang sangat berpengaruh terhadap prevalensi perokok anak justru dari lingkungan seperti melihat teman sebaya yang merokok dan paparan iklan rokok di berbagai media.

GYTS juga menyebutkan sebanyak 61 persen warung rokok berada di radius 100 meter dari area sekolah. Anak pun mudah mendapatkan rokok dengan harga relatif murah karena penjualan rokok eceran. 

Sementara itu, Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia pada 2022 menyebut sebanyak 47,06 persen anak membeli rokok secara eceran dengan tempat membeli rokok terbanyak di kios dan minimarket. Ketika membeli pun sebagian besar anak tidak pernah ditanya kartu identitas atau usianya.

Saat ini, Yayasan Kakak sedang memulai mengumpulkan data bagaimana tingkat kepatuhan kawasan tanpa rokok (KTR) di lingkungan sekolah.  Menurut dia, regulasi di sekolah hanya mengatur murid untuk tidak boleh merokok. Sedangkan banyak guru yang diperbolehkan merokok. 

Sekolah merupakan kawasan absolut tanpa merokok yang diatur dalam Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

“Perlu diingat KTR ini mencakup tiga hal, pertama tidak boleh ada produksi di itu, kedua tidak boleh ada aktivitas merokok, dan yang ketiga tidak boleh ada iklan rokok di kawasan itu,” tambah dia.

Infografis Perokok Anak (Solopos/Whisnupaksa)
Infografis Perokok Anak (Solopos/Whisnupaksa)

Kabid Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Solo, Tutik Asmi, mengakui telah mendapatkan informasi bagaimana anak menjadi perokok karena lingkungan terdekatnya adalah perokok aktif. Selain itu, kemudahan mendapatkan rokok seperti dijual eceran atau ketengan mendorong anak menjadi perokok.

“Upaya kami sebenarnya dengan memperbanyak Kampung Bebas Asap Rokok (KBAR) agar rumah-rumah bebas asap rokok. Sedangkan di lingkungan sekolah, kami akui kepatuhannya belum maksimal, belum 100 persen, karena memang tidak gampang, komitmen sekolah, selain menyoroti penegakannya,” kata dia, Jumat (20/10/2023).

Pihaknya terus melakukan sosialisasi di lingkungan sekolah mengenai aturan KTR, dan mendorong implementasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) di lingkungan sekolah.

“Saat ini jumlah sekolah yang sudah Germas baru 3 sekolah, itu sudah kami monitoring, pembentukan kader, dan penanggung jawab agar KTR itu diterapkan, kami belum targetkan berapa sekolah yang bisa mengimplementasikan, kami lihat kesiapan sekolah, mulai dari guru, wali murid, siswa, dan warga sekolah lain harus komitmen,” ucap Tutik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya