SOLOPOS.COM - Monumen Bedol Desa di Desa Pokohkidul, Kecamatan Wonogiri, menjadi pengingat akan pengorbanan warga yang harus transmigrasi ke luar Jawa demi pembangunan WGM. Foto diambil Senin (23/10/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRIMonumen Bedol Desa di Desa Pokoh Kidul, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri, menjadi pengingat akan pengorbanan lebih dari 68.000 warga yang harus meninggalkan tanah kelahiran mereka demi pembangunan Waduk Gajah Mungkur pada 1970-1980 lalu.

Monumen itu menggambarkan keluarga yang seolah sedang berpamitan karena harus pindah dari kampung mereka. Terlihat sosok patung ayah pada monumen itu menengok ke belakang atau ke arah waduk sembari melambaikan caping di tangan kanan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Sementara sang ibu yang menggendong anak balita dan seorang anak lainnya menatap ke depan. Bagi mereka yang terdampak pembangunan WGM Wonogiri, penggambaran dalam patung tentu menjadi pengingat akan kesedihan mendalam yang dirasakan 47 tahun lalu.

Patung itu memberi mereka memori akan peristiwa saat mereka harus transmigrasi bedol desa ke luar Jawa demi pembangunan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri.

Mengutip laman tic.wonogiri.go.id, Waduk Gajah Mungkur dibangun mulai 1976 sampai 1981. Lokasinya berjarak 7 km arah selatan pusat kota Wonogiri tepat di bagian hilir pertemuan Kali Keduang.

Dengan luas daerah genangan lebih dari 8.800 hektare dan luas daerah yang dibebaskan 90 km persegi, pemerintah harus memindahkan mengosongkan 51 desa di tujuh kecamatan. WGM kemudian dibangun secara swakelola dengan bantuan konsultan dari Nippon Koei Co, Ltd Jepang.

Saat pengosongan lahan Waduk Gajah Mungkur itu, sebanyak 12.525 keluarga yang terdiri dari 68.750 jiwa harus bedol desa dengan sebagian besar mengikuti program transmigrasi ke berbagai daerah.

patung bedol desa transmigrasi waduk gajah mungkur
Patung atau Monumen Bedol Desa di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri diresmikan Presiden Suharto, 17 November 1981. (Humas Pemkab Wonogiri)

Daerah tujuan transmigrasi itu antara lain Sitiung di Provinsi Sumatra Barat, Jujuhan, Rimbo Bujang, Alai Ilir, dan Pemenang di Provinsi Jambi. Kemudian Air Lais, Sebelat, Ketahun, dan Ipuh di Provinsi Bengkulu, serta Panggang dan Baturaja di Provinsi Sumatra Selatan.

Tahapan Transmigrasi

Ramdani Nur Sidiq dalam bukunya berjudul Wonogiri di Bawah Orde Baru: Pembangunan dan Pengorbanan Masyarakat Wonogiri 1974–1984 yang terbit kali pertama pada September 2023, mengungkapkan proses transmigrasi itu berjalan alot dan bertahap.

Alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menuliskan ada 12.525 keluarga atau sekitar 68.750 jiwa di tujuh kecamatan dan 51 desa yang harus ditawari program transmigrasi dengan bedol desa untuk pembangunan Waduk Gajah Mungkur.

Penduduk desa setempat awalnya menolak untuk direlokasi dan negosiasi yang dilakukan pemerintah dengan penduduk setempat sangat alot. Penolakan itu, tulis Sidiq dalam buku yang merupakan hasil penelitian untuk skripsinya tersebut, lantaran para penduduk menilai ganti rugi yang diberikan tidak setimpal.

Bupati Wonogiri kala itu, Harmoyo, melakukan pendekatan langsung kepada warga agar menerima ganti rugi dan bersedia ikut transmigrasi. Pendekatan langsung itu bisa diartikan sebagai ancaman atau represivitas Pemerintah Orde Baru.

Pertimbangan lain warga kala itu menolak digusur karena tidak ingin dipindah ke luar Jawa. Apalagi saat itu daerah tujuan transmigrasi, yaitu Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, masih berupa daerah liar.

Setelah melalui proses alot, akhirnya sebagian besar warga bersedia meninggalkan kampung halaman lewat program transmigrasi bedol desa demi pembangunan bendungan serbaguna Waduk Gajah Mungkur Wonogiri.

Menurut Sidiq, ada sekitar 10.350 keluarga yang setuju mengikuti program transmigrasi pemerintah. Sedangkan 2.215 keluarga relokasi secara mandiri.

Penduduk yang ikut transmigrasi diberangkatkan dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama dilakukan pada November 1976 sebanyak 100 keluarga atau 438 jiwa menuju Sitiung.

WGM sebagai Wisata Andalan di Wonogiri Sukses Prakiraan Cuaca rebranding wonogiri transmigrasi bedol desa waduk gajah mungkur
Waduk Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri. (Istimewa/Instagram @jo.chryst)

Perjalanan transmigrasi itu dilakukan dengan jalan darat dan laut. Mereka berkumpul di Kelurahan Giriwono menuju Stasiun Kereta Api Jebres Solo. Dari stasiun itu para transmigran Wonogiri itu diturunkan di Stasiun Tanjung Priok. 

Alasan Penolakan Warga

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menggunakan kapal laut menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatra Barat. Dari sana mereka menggunakan moda transportasi darat menuju Sitiung berjarak 217 km.

Sampai Maret 1977, sebanyak 2.000 keluarga asal Wonogiri yang terkena dampak pembangunan Waduk Gajah Mungkur bedol desa ke empat desa baru tujuan transmigrasi di wilayah Sitiung.

Setelah pemberangkatan beberapa gelombang transmigrasi, Sitiung sudah tidak lagi mampu menampung jumlah penduduk yang transmigrasi dari Wonogiri. Atas kondisi itu, Menteri Transmigrasi pada saat itu, Subroto, mencari tempat lain sebagai tujuan transmigrasi.

Akhirnya diputuskan antara lain Kabupaten Baturaja di Sumatra Selatan, Kabupaten Jujuhan di Jambi, dan Kabupaten Kurotidur di Bengkulu. Sidiq menuliskan alasan daerah itu dipilih menjadi tujuan transmigrasi lantaran jumlah warga di daerah itu masih sedikit.

“Namun, pada 1980, ada 1.850 keluarga yang menolak dipindah. Mereka bahkan menyatakan diri siap tenggelam bersama. Hal itu karena warga menganggap pemerintah telah ingkar janji,” tulis Sidiq.

Atas penolakan itu, pemerintah kembali melakukan pendekatan mengedepankan dialog dan pendekatan secara kekeluargaan. Cara itu cukup berhasil.

Para warga terdampak pembangunan Waduk Gajah Mungkur pun akhirnya mau bedol desa dan diberangkatkan ke daerah alternatif tujuan transmigrasi yang disiapkan pemerintah.



Setelah pembangunan WGM, pemerintah kemudian membangun Monumen Bedol Desa di Desa Pokoh Kidul, Wonogiri. Monumen itu sebagai tanda penghormatan bagi para warga yang telah rela digusur.

Dari foto dokumentasi yang diperoleh Solopos.com, saat peresmian Waduk Gajah Mungkur pada 17 November 1981 lalu, patung Monumen Bedol Desa yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak pergi sambil melambaikan caping ke arah waduk itu sudah selesai dibangun.

  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya