SOLOPOS.COM - Ilustrasi tabungan perumahan rakyat (Tapera). (freepik)

Solopos.com, BOYOLALI — Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mewajibkan pekerja dan pengusaha membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Boyolali sepakat menolak iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Begitu juga kalangan pekerja. Selain karena akan membebani mereka, pekerja juga mempertanyakan keamanan tabungan mereka di Tapera nantinya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Suara pekerja di Boyolali juga menguatkan penolakan terhadap PP yang mewajibkan semua pekerja berusia minimal 20 tahun untuk menjadi peserta Tapera tersebut.

Salah satu karyawan pabrik, Pratama Dimas, 27, menyatakan tidak setuju dengan adanya kewajiban pekerja membayar iuran Tapera yang nilainya 2,5% dari gaji karyawan. Ia mengatakan selama ini gaji karyawan telah dipotong untuk BPJS dan sejumlah keperluan lain.

Terlebih, belum ada sosialiasi yang jelas terkait mekanisme iuran Tapera juga menambah ketidaksetujuannya. Pekerja salah satu perusahaan di Boyolali itu juga menyoroti pemerintah yang justru mewajibkan iuran Tapera di tengah berbagai penolakan.

Padahal, tutur Pratama, Tapera mengandung kata tabungan yang seharusnya tidak diwajibkan. “Pemerintah tidak bisa mewajibkan iuran seperti ini. Kalau dibandingkan kenaikan upah yang berkisar Rp100.000-Rp200.000 dengan iuran Tapera dam potongan yang lain itu jumlahnya hampir mendekati kenaikan UMK. Jadi saya tidak setuju,” jelasnya kepada Solopos.com, Selasa (4/6/2024).

Di sisi lain, Pratama mengaku belum bisa percaya sepenuhnya dengan badan yang bakal mengelola Tapera karena belum melihat bukti nyata dari kebijakan tersebut meski telah berlangsung sejak 2016.

“Banyak isu tentang korupsi. Trust issue tentang korupsi di Indonesia. Saya rasa ini mempengaruhi kepercayaan, tidak hanya saya pribadi, tapi semua pekerja yang terkena iuran Tapera,” jelas dia.

Ia menyarankan pemerintah memperluas sosialiasi kepada warga terkait mekanisme, manfaat, dan contoh nyata hasil Tapera. Pratama juga meminta kebijakan tersebut dikaji ulang dan disosialisasikan kepada masyarakat luas.

Walaupun, ia mengaku tetap bakal menolak kebijakan iuran wajib Tapera untuk karyawan swasta. “Kami minta contoh hasilnya seperti apa, jangan tiba-tiba dipotong. Kami sebagai pekerja kan juga punya kebutuhan lain yang dari harga bahan pokok, pangan, transportasi, dan sebagainya,” kata dia.

Sangsi bakal Tepat Guna

Karyawan swasta lain, Nurrudin Nashir, 28, juga tidak setuju dengan iuran wajib Tapera karena ia melihat sistem Tapera yang telah dijalankan belum memberikan contoh bahwa program berjalan dengan baik.

Ia juga belum bisa mempercayai manajemen iuran Tapera dan menyayangkan harus diwajibkan karena menyangsikan bakal tepat guna. Nurrudin menyarankan dibandingkan mewajibkan iuran, seharusnya pemerintah membenahi sistem dan birokrasi pengelolaan Tapera.

Ketika sistem, transparansi, dan lain-lsin telah berjalan baik, pemerintah nantinya bakal mendapatkan kepercayaan masyarakat. Ia juga mengamati Tapera juga belum familier bagi masyarakat luas baru di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Namun demikian, Nurrudin menyoroti pada praktiknya untuk PNS iuran Tapera juga belum beres sehingga ia pun mempertanyakan mengapa hal tersebut diaplikasikan ke masyarakat luas termasuk kalangan swasta.

“Saya sendiri kurang percaya birokrasi dan pengelolaan Tapera, karena yang sudah terjadi sebelumnya ketika ada PNS mau mencairkan dana Tapera sulit, ada yang keluar hanya Rp3 juta padahal ikut dari awal sampai pensiun,” jelas dia.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Apindo Boyolali, Imam Bakhri, mengatakan dengan tegas menolak iuran Tapera karena akan semakin menambah beban pengusaha dan perusahaan. Seperti diketahui iuran Tapera ditetapkan sebesar 3% dari gaji karyawan.

Dari 3% itu, 0,5% ditanggung perusahaan dan sisanya, 2,5% ditanggung karyawan. Ia mengatakan skema itu bakal memberatkan pengusaha maupun pekerja.

Ketua KSPN Boyolali, Wahono, mengatakan Tapera seharusnya tidak memungut biaya atau merugikan pekerja dan pengusaha. Ia juga mengatakan dengan adanya iuran Tapera, pekerja jadi tak bisa mendapatkan manfaat dari kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

“Dengan UMK Boyolali saat ini, sama saja kalau ada iuran Tapera, itu nyaris sama saja tidak ada kenaikan UMK. Percuma naik kalau dipotong 2,5%,” kata dia, Senin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya