SOLOPOS.COM - Petani asal Dusun Sidosari, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Sardi, memperlihatkan tomat yang membusuk di pohonnya, Jumat (6/10/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Musim kemarau berdampak pada komoditas pertanian tomat di Lereng Merapi Boyolali, Dusun Sidosari, Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo. Panen tomat di musim kemarau ini turun dan buah juga cepat membusuk.

Di musim kemarau ini, petani Sukabumi terpaksa memanen tomat lebih cepat karena khawatir lekas membusuk. Salah satu petani Dusun Sidosari, Sardi, 55, menjelaskan bagian ujung tomat cepat membusuk karena mendapatkan uap panas dari tanah yang menguap ke atas.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Untuk mencegah pembusukan buah, ia harus memanen lebih cepat. Biasanya ia panen setelah usia tanam tiga bulan, tapi saat ini dua bulan sudah harus dipanen.

“Jadi tomat ini kurang airnya di musim kemarau, hasil buahnya ya kurang maksimal seperti ini, merugi,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di ladangnya, Jumat (6/10/2023).

Ia mengatakan harga buah tomat hasil panen petani di lereng Merapi Boyolali pada musim kemarau ini juga rendah, hanya Rp2.000-Rp2.500 per kilogram. Padahal, di waktu normal, harga tomat bisa mencapai Rp6.000-Rp7.000 per kilogram.

Hasil panen juga turun. Pada saat musim hujan ia bisa memanen 25 plastik besar masing-masing berisi 10 kilogram alias 250 kg. Sedangkan saat musim kemarau ini hanya bisa 15 plastik masing-masing berisi 10 kilogram atau 150 kg.

Artinya, panen tomat di lahan Sardi berkurang hampir 50 persen. Panen tersebut didapat dari 800 tanaman tomat yang ia tanam. Untuk pengairan, di musim kemarau ini petani mengandalkan air dari gunung yang berjarak sekitar tiga kilometer dan dialirkan menggunakan pipa.

Petani Merugi

“Biasanya air itu kami pakai untuk kehidupan sehari-hari, bukan pertanian. Sekarang airnya kami pakai untuk pertanian,” jelas dia.

Sementara itu, petani lain di lereng Gunung Merapi Boyolali, Juminah, juga menyebut panen tomat di musim kemarau ini tidak bagus. Penyebabnya karena kekurangan air.

Panennya juga turun karena tomatnya banyak yang cepat busuk hingga jatuh ke tanah. Biasanya tomat ia panen sepekan sekali, akan tetapi karena takut tomat cepat busuk, akhirnya dipanen tiap empat hari sekali.

“Kalau dibandingkan musim kemarau tahun kemarin itu turun drastis. Soalnya tahun kemarin kan kemarau basah, ini kemarau kering yang panjang. Airnya juga tidak sebanyak saat musim hujan,” kata dia.

Ia mengatakan penggunaan air dari gunung untuk pertanian dari lereng Gunung Merapi hanya pada saat musim kemarau. Air-air dialirkan menggunakan pipa-pipa sejak belasan tahun yang lalu.

Pipa untuk sarana transportasi air dibeli dengan iuran warga sekitar senilai Rp700.000 per rumah. Selanjutnya, ia mengungkapkan modal untuk menanam tomat di tempatnya habis sekitar Rp2 juta.

“Ini sudah panen ketujuh, tapi belum bisa tutup modal menanam. Kalau petani seperti saya ya tetap dijalani, nanti menutup modal pakai tanaman dan kerjaan lain. Saya juga ikut buruh tani di tempat orang,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya