SOLOPOS.COM - Pengunjung memilih Batik Wonogiren di salah stan acara Batik dan Kuliner Klangenan Wonogiren di Alun-Alun Giri Krida Bakti Wonogiri, Minggu (15/10/2023). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Meski marak batik cap dan printing, mayoritas perajin Batik Wonogiren khas Kabupaten Wonogiri tetap bertahan dengan batik tulis. Pasar Batik Wonogiren pun dinilai lebih tersegmentasi. 

Salah satu pengusaha batik asal Tirtomoyo, Daryono, mengatakan rata-rata perajin Batik Wonogiren masih mempertahankan batik tulis. Hal itu lantaran batik tulis dianggap lebih berkualitas dibandingkan batik cap atau printing sekalipun.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Hanya, dengan tetap memilih memproduksi batik tulis itu pasar Batik Wonogiri menjadi sempit. Mereka yang membeli Batik Wonogiri kebanyakan warga kelas menengah. 

Daryono menyebut hal itu wajar karena harga batik tulis lebih mahal dibandingkan batik cap atau printing. Proses pembuatan yang lebih rumit dan membutuhkan waktu lama itu yang membuat batik tulis mahal. Harga mahal ini yang membuat Batik Wonogiren tidak familier dikenakan banyak kalangan. 

Dia menceritakan Batik Wonogiren khas Wonogiri ketika diikutsertakan dalam pameran atau bazar kerap tidak ada yang melirik. Sebab para pengunjung pameran banyak yang mengira harga normal batik hanya berkisar Rp100.000 atau di bawahnya.

Kondisi itu bisa dipahami karena mereka selama ini kebanyakan membeli batik cap atau bahkan printing. Batik cap dan printing batik banyak diproduksi di Pekalongan dan Solo.

“Misalnya kami ikut pameran di Solo, belum lama ini. Pembelinya ya enggak banyak karena mereka para pengunjung membandingkan harga batik kami dengan batik di Pasar Klewer yang harganya di bawah Rp100.000. Padahal itu printing atau batik cap,” kata Daryono saat berbincang dengan Solopos.com pada acara Batik dan Kuliner Klangenan Wonogiren di Alun-Alun Wonogiri, Minggu (15/10/2023).

Daryono menyampaikan saat ini printing batik dan batik cap yang menguasai pasar batik. Menurut dia, dari segi bisnis sebenarnya sulit kalau tidak mengikuti kebutuhan pasar dan tetap kukuh pada pendirian mempertahankan produksi batik tulis saja.

Batik Campur Tulis dan Printing

Maka dari itu, Daryono berinovasi untuk mencampur batik tulis dan batik cap dalam satu kain, sehingga ongkos produksi lebih murah dan harganya juga terjangkau bagi banyak kalangan. Kain batik campur itu biasa dia hargai sekitar Rp200.000/lembar.

“Kalau saya jujur saja bicaranya bisnis. Jadi apa yang lagi tren itu yang diikuti, tetapi tetap produksi batik tulis juga. Itu identitas Batik Wonogiren,” ujar dia.

Dia menyebut saat ini pasar atau tingkat penjualan Batik Wonogiren khas Wonogiri tidak menentu. Jumlah batik yang diproduksi para perajin tidak selalu sama setiap bulan. Produksi mereka bergantung pada pesanan.

“Kalau saya, sebulan dirata-rata paling bisa produksi 200-an kain batik. Kalau lagi sepi ya sekitar 100 kain. Tapi kalau pas ramai bisa 400-an kain,” ucap dia.

Daryono menambahkan pasar Batik Wonogiren yang dia produksi banyak di Soloraya seperti Solo dan Klaten. Pola penjualannya masih mengandalkan jaringan para pelaku usaha batik.

Dia mengaku belum banyak memanfaatkan pasar online untuk memasarkan produknya. “Instansi-instansi pemerintahan Wonogiri itu juga biasanya pesennya ke kami,” imbuhnya.

Karyawan Batik TSP Tirtomoyo, Harjanto, juga menyampaikan Batik Wonogiren khas Wonogiri masih banyak yang diproduksi secara manual atau tulis. Harga Batik Wonogiren mulai Rp250.000/kain-Rp2 juta/kain bergantung pada motif, kerumitan, dan lama pembuatan.

Upaya Promosi Batik Wonogiren

Proses pembuatan satu kain batik kadang bisa memakan waktu dua-tiga bulan. Berbeda dengan Daryono, Batik TSP Tirtomoyo lebih banyak dipasarkan ke Jakarta dan sekitarnya.

Tetapi Harjanto menyebut pasar batik saat ini tengah lesu sejak pandemi Covid-19. Sebelum pandemi Covid-19, produksi kain batik di Batik TSP Tirtomoyo rerata mencapai 500 kain per bulan.

Saat ini hanya 300-400 kain per bulan. Dia memastikan Batik Wonogiren memiliki ciri khas berbeda dengan batik dari daerah lain, yaitu adanya motif remukan atau remekan. 

“Ibaratnya, sekarang itu lagi proses merangkak sebelum berdiri kembali setelah pandemi Covid-19,” kata Harjanto.

Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, menyampaikan Batik Wonogiren yang khas memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Komoditas batik itu cukup menjanjikan karena putaran ekonomi dalam usaha tersebut cukup besar.

Pemkab Wonogiri pelan-pelan tengah mendorong Batik Wonogiren agar lebih maju. Promosi Batik Wonogiren pun terus dilakukan dengan cara mengikuti pameran-pameran, dikenalkan dengan para pemerhati batik, termasuk melalui Karnaval Batik Wonogiri.

“Kami sering pertemukan mereka dengan komunitas-komunitas pencinta batik. Kami ikutkan pameran-pameran dan pelatihan. Faktanya hari ini omzet batik Wonogiri naik dibandingkan tiga-empat tahun lalu,” kata Joko Sutopo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya