SOLOPOS.COM - Pengamat politik UNS, Agus Riewanto, saat berada di DPRD Sragen, Selasa (24/10/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Pasangan calon presiden (capres), Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres), Gibran Rakabuming Raka beserta partai politik (parpol) pengusungnya dinilai tidak beretika politik lantaran mengambil Gibran yang notabene kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai cawapres hanya untuk elektabilitas.

Penilaian itu diungkapkan Pengamat Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, saat ditemui wartawan di Sragen, Selasa (24/10/2023) lalu. Agus menerangkan prinsipnya dalam konstitusi UU 1945, capres-cawapres itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Dia melanjutkan sudah pasti Gibran itu diajukan oleh parpol tertentu ketika menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Agus melanjutkan padahal Gibran itu merupakan kader PDIP.

“Ketika mendaftar sebagai cawapres, ya secara logis tidak lagi menjadi kader PDIP karena seseorang tidak boleh memiliki dua kartu keanggotaan parpol. Fatsun politik tersebut tidak pantas. Etika itu soal pantas dan tidak pantas, bersifat pribadi, ukurannya tidak ada, dan bukan hukum. Kalau Gibran merasa apa yang dilakukan itu beretika, ya silakan tetapi publik juga punya cara sendiri mengukur etika politik itu,” jelas Agus yang juga mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sragen itu.

Dia menerangkan masing-masing orang punya ukuran etika sendiri sehingga etika itu sangat subjektif sifatnya. Agus menyatakan secara umum, publik mengatakan apa yang dilakukan Gibran itu tidak beretika, bahwa dari parpol berbeda dicalonkan oleh parpol lain.

“Yang ingin saya katakan, yang tidak beretika itu tidak hanya Gibran, termasuk Prabowo dan partai-partai pengusungnya. Sudah tahu kader partai lain diambil dan dimasukkan hanya untuk elektabilitas gara-gara anak Presiden. Itu tidak etis. Jadi tidak etis itu resiprokal, bukan hanya Gibran tetapi juga Prabowo dan termasuk partai pengusungnya,” ujar Agus.

Agus menerangkan fenomena politik tersebut menunjukkan sistem kepartaian di Indonesia itu gagal dalam regenerasi pemimpin politik. Dia mengatakan parpol-parpol itu tidak percaya diri kemudian mengambil kader partai lain.

Dia mengungkapkan sebenarnya parpol-parpol itu memiliki kader yang bagus tetapi seolah tidak dipercaya.

“Berarti sistem kepartaian kita gagal dalam rangka menghasilkan kaderisasi pemimpin politik. Padahal UU Parpol menjelaskan salah satu fungsi parpol itu organisasi dan kaderisasi. Di situ kegagalannya,” kata Agus.

Dia melanjutkan persoalan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah itu sebenarnya ukurannya ketokohan seseorang. Dia menjelaskan kalau etika itu dianggap sebagai ukuran ketokohan, mungkin saja tokoh yang tidak beretika tidak sesuai dengan keinginan publik. Dia mengatakan peluangnya bisa terpilih dan tidak terpilih tetapi publik memiliki mindset yang disebut silent majority.

“Publik itu diam tetapi diamnya mereka mesti diwaspadai. Mungkin tidak ada ruang untuk bicara. Yang punya ruang ada media sosial tetapi yang tidak punya ruang lebih banyak, termasuk apatis. Tidak terpilih itu bisa karena pemilih datang ke TPS tetapi tidak menggunakan hak suaranya atau golput atau memang tidak memilih secara langsung. Dugaan saya, golput ke depan lebih tinggi,” ungkap Agus.

Dia mengatakan orang tidak menggunakan hak pilih itu bisa karena kecewa dengan sosok calonnya kemudian memilih tidak nyoblos. Dia melanjutkan ada juga kalau tidak pilih Gibran tidak enak dan kalau memilih lainnya juga tidak pas misalnya.

“Prediksinya golput di Pemilu 2024 nanti lebih tinggi daripada Pemilu 2019. Di Soloraya yang terkenal Kandang Banteng pun, suaranya terpecah menjadi tiga, yakni memilih Ganjar-Mahfud, memilih Prabowo-Gibran, dan memilih golput. Kalau Jateng ini sepertinya sulit bagi Anies-Muhaimin karena pengusungnya partai kader sehingga massanya sudah dihitung,” ujarnya.

Di sisi lain, Agus menjelaskan untuk jabatan politik seperti menteri, gubernur, wali kota, bupati, dan wakil-wakilnya itu kalau mencalonkan diri dalam jabatan politik yang sama atau di atasnya, misalnya Gibran dari wali kota mencalonkan jadi cawapres, maka tidak harus mundur dari jabatan tetapi cukup cuti saat kampanye. Dia menerangkan sebelum kampanye pun harus mengajukan izin ke atasannya.

Terkait adanya analisis dan dugaan politik bahwa yang bersangkutan bisa memengaruhi anak buahnya, Agus berpendapat ada mekanisme kontrol berupa pengawasan dan penegakan hukum. Dia mengatakan pengawasan dilakukan oleh Bawaslu, KPU, dan pers.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya