SOLOPOS.COM - Anggota Sanggar Kresna Patra menunjukkan hasil karya mereka di workshop sanggar, Desa Klewor, Kemusu, Boyolali, Jumat (24/5/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Sanggar yang menjadi wadah pelatihan kerja dan pemberdayaan kalangan penyandang disabilitas atau difabel, Kresna Patra, di Desa Klewor, Kecamatan Kemusu, Boyolali, telah menelurkan setidaknya 450 peserta pelatihan.

Ada sekitar 57 orang yang akhirnya bisa bekerja di bidang konfeksi sejak 2021. Akan tetapi, di balik keberhasilan itu ada usaha yang tak bisa dibilang ringan. Tak jarang pengelola sanggar menghadapi penolakan dari difabel yang diajak ikut pelatihan maupun keluarganya.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Pengelola Sanggar Kresna Patra, Sri Setyaningsih, menceritakan untuk merekrut difabel sebagai peserta pelatihan tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada yang memang mudah diajak karena memang ada niat mencari kerja, akan tetapi ada pula yang harus dibujuk dan butuh perjuangan lebih agar mereka bersedia ikut.

Ia menceritakan saat mengajak penyandang disabilitas daksa dan tuli untuk bergabung ke pelatihan menjahit, tak jarang ia mendapatkan penolakan dari orang tua difabel bersangkutan. “Ya berpikirnya anaknya kan kondisinya difabel, apa bisa? Padahal bisa,” kata Sri saat berbincang dengan Solopos.com di Sanggar Kresna Patra Boyolali, Jumat (24/5/2024).

Pekerjaan rumah Sanggar Kresna Patra tidak hanya membuat difabel usia produktif untuk mandiri dan berdaya. Sri juga memikirkan ketika ada penyandang disabilitas ganda bahkan tidak masuk ke kualifikasi perusahaan sehingga harus didampingi secara ekstra.

“Masih ada teman-teman penyandang disabilitas yang dieksploitasi keluarga, yang masih disembunyikan,” kata dia. Perempuan yang juga Ketua Forum Komunikasi Difabel Boyolali (FKDB) ini juga harus pintar-pintar merayu orang tua agar anaknya yang difabel mau diikutkan ke pelatihan.

Kerja Sama dengan Perusahaan

Tak cukup di situ, terkadang Sri juga dihadapkan pada mental penyandang disabilitas yang sudah nyaman hidup di rumah tanpa bersosialisasi.

“Saya itu pendekatan ke teman-teman itu sampai saya masuk ke kamarnya. Menunggu di pinggir tempat tidurnya, ‘ayo keluar, buat apa di rumah tidak ada kegiatan? Kalau di luar bisa bertemu teman banyak dan senasib. Jadi bisa saling berkomunikasi, sharing, dapat penghasilan’,” kata dia.

Menurutnya, dengan permasalahan yang ada, Sri menilai masalah penyandang disabilitas tidak akan selesai dalam waktu satu-dua tahun. Untuk terus bisa memperkuat dan bisa membimbing penyandang disabilitas, Kresna Patra selalu memperbarui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan setiap tiga tahun.

Dengan kerja sama yang terus berjalan, diharapkan penyandang disabilitas yang suatu saat ingin bisa belajar mendapatkan dukungan terbaik dan tersalurkan dengan baik ke dunia kerja.

“Saya berharap dengan adanya Kresna Patra dan semangat dari penyandang disabilitas dapat membuat kaum difabel mandiri dan berdaya saing,” kata dia.

Ia menjelaskan tujuan dari pelatihan di Sanggar Kresna Patra Boyolali agar penyandang disabilitas bisa menghidupi diri sendiri. Bahkan, diharapkan mereka juga bisa menyejahterakan keluarganya.

Lebih lanjut, Sri mengatakan ada pelatihan menjahit setiap tahunnya untuk para difabel yang digelar secara gratis selama kurang lebih 18 hari. Pada 2024 ini, Kresna Patra juga membuka pelatihan batch keempat pada 4-22 Juni 2024.

Pendekatan Emosional

“Yang telah kami latih sejak 2021 sampai saat ini ada sekitar 450 orang [difabel tuli dan daksa]. Yang masuk ke perusahaan ada 57 penyandang disabilitas. Sisanya ada yang berwirausaha dan kembali ke keluarga,” kata dia.

Sebanyak 450-an peserta berasal dari hampir 22 kecamatan di Boyolali. Tak hanya itu, peserta juga dibuka dari luar daerah. Lokasi pelatihan dilaksanakan di Sanggar Kresna Patra, sehingga bagi peserta yang jauh bisa tinggal sementara di sanggar dengan akomodasi seadanya.

Salah satu anggota Sanggar Kresna Patra, Boyolali, Giyarto, 50, membenarkan cerita Sri yang harus melakukan pendekatan emosional ketika harus meyakinkan orang tua bahkan penyandang disabilitas untuk keluar rumah. “Saya dulu awal bergabung juga diajak Mbak Sri sampai masuk ke sentong [kamar] untuk meyakinkan,” kata dia.

Giyarto menjelaskan sebelum bergabung bersama organisasi yang Sri dirikan, ia hanya bisa berada di rumah dan enggan bertemu masyarakat karena repot dan untuk keluar tidak ada kendaraan.

Ia baru mendapatkan bantuan kendaraan modifikasi setelah bergabung bersama kelompok difabel. “Sebelum bergabung, saya hanya di rumah, enggak bisa kemana-mana. Setelah bergabung bisa bertemu teman-teman dan bisa menambah semangat hidup,” kata lelaki 50 tahun tersebut.

Giyarto menceritakan sejak kecelakaan yang mengakibatkan ia lumpuh pada 2001, ia tak memiliki semangat hidup. Ia baru merasa bangkit ketika mau diajak ke luar rumah dan bertemu dengan sesama penyandang disabilitas daksa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya