SOLOPOS.COM - Tugu ucapan selamat datang menyambut di dekat Terminal Giri Adipura, Selogiri, Wonogiri. Foto diambil belum lama ini. (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Keberadaan Kabupaten Wonogiri tidak dapat terlepas dari eksistensi Mangkunegaran Solo. Bahkan berdirinya Kabupaten Wonogiri konon berkat andil besar dari Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian menjadi adipati pertama Mangkunegaran Solo bergelar KGPAA Mangkunagoro I.

Karena itu tak mengherankan banyak petilasan atau peninggalan bersejarah warisan tokoh Mangkunegaran di Wonogiri. Tidak hanya Mangkunagoro I tapi juga berlanjut hingga Mangkunagoro VII sebelum era Kemerdekaan RI.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Dilansir dari tulisan ilmiah berjudul Pembangunan Pedesaan Pada Masa Mangkunegara VII (Studi Kasus Desa Pertanian di Wonogiri Tahun 1916-1944) karya Yusuf Arie Pratama dari UNS Solo, perdesaan di Wonogiri mulai mengalami perkembangan sejak kepemimpinan Mangkunagoro VII yang naik tahta pada 1916.

Salah satu keberhasilan Mangkunagoro VII dalam memimpin Kadipaten Mangkunegaran yakni memperbaiki kondisi keuangan praja setelah mengalami kerugian keuangan sejak Mangkunagoro V.

Pada masa ini Praja Mangkunegaran menjadi lebih makmur dan modern sebagai hasil dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Mangkunagoro VII. Salah satu kebijakan tersebut yakni pembangunan perdesaan.

Hal ini dilatarbelakangi pemikiran Mangkunagoro VII yang menganggap desa sebagai wilayah penting dari Praja Mangkunegaran. Desa dianggap penting karena di sana tersimpan potensi alam yang luar biasa yang bila dikembangkan dan dimanfaatkan akan membawa kemakmuran bagi praja.

Salah satu wilayah perdesaan yang dibangun kala itu adalah wilayah Wonogiri. Wilayah ini dikembangkan terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Untuk memajukan pertanian, Mangkunagoro VII membangun saluran irigasi dan waduk yang berhubungan langsung dengan sistem pertanian.

Di samping itu, Mangkunagoro VII juga membangun sarana prasarana penunjang seperti jalan, jembatan, dan sarana transportasi. Semua itu bertujuan meningkatkan hasil pertanian dan memperlancar akses ekonomi masyarakat khususnya di perdesaan.

Untuk membangun semuanya itu diperlukan dana yang tidak sedikit, bahkan hanya untuk membangun jalan dan jembatan Mangkun menganggarkan tidak kurang dari 100.000 gulden setiap tahunnya.

Beberapa waduk yang dibangun pada masa kekuasaan Kadipaten Mangkunegaran sebagai upaya memakmurkan kembali Kadipaten Mangkunegaran antara lain Kedung Uling (1917), Plumbon (1918), Tirto Marto (1920), Cengklik (1930), dan Jombor (1925).

Selain itu juga dibangun beberapa jalan utama di Wonogiri seperti jalan dengan rute Wonogiri-Jatipuro, Girimarto-Sidoharjo, Nguntoronadi (Betal)-Tirtomoyo, Nguntoronadi-Wuryantoro-Eromoko.

Kemudian ruas jalan Baturetno-Giritontro-Pracimantoro, Wonogiri-Ngadirojo-Sidoharjo, Purwantoro-Bulukerto, Wonogiri-Manyaran lewat Sendang, Baturetno-Temon-Batuwarno, Wonogiri-Jumapolo, Wonogiri ke Pracimantoro lewat Wuryantoro dan Eromoko, serta jalan Wonogiri-Krisak-Pule batas Bulu (Sukoharjo).

Dampaknya masyarakat desa khususnya di wilayah Wonogiri menjadi lebih maju. Kemudian dengan meningkatnya hasil panen masyarakat dan menaikkan taraf kesejahgteraan masyarakat.

Di sini masyarakat bisa dikatakan sejahtera bilamana kebutuhan pokok dasar mereka dapat terpenuhi, sehingga dengan terpenuhinya kebutuhan pokok dasar masyarakat dapat lebih mengembangkan pola hidup mereka.

Seperti halnya dengan memperoleh pendidikan dan dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia di daerahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya