SOLOPOS.COM - Sancoyo, 61, sedang membersihkan Kompleks makam Yosodipuro di Dukuh Ireng, Bendan, Banyudono, Kabupaten Boyolali, Sabtu (5/3/2022). (Magdalena Naviriana Putri/Solopos)

Solopos.com, BOYOLALI — Munculnya tradisi Sebaran Apam Keong Mas di Pengging, Banyudono, Boyolali, yang digelar setiap bulan Safar atau Sapar pada kalender Jawa/Islam, tidak lepas dari sosok Raden Ngabehi Yosodipuro II.

Berkat nasihat Yosodipuro lah, warga Pengging berhasil mengatasi pagebluk serangan hama keong mas pada tahun 1800-an. Kala itu, berdasarkan petunjuk yang diperoleh Yosodipuro II dari Yang Maha Kuasa, masyarakat Pengging diminta membuat apam yang dikukus.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Apam itu dibungkus janur kuning berbentuk kerucut lalu dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Setelah warga Pengging melaksanakan instruksi dari Yosodipuro itu, pagebluk pun berakhir dan warga Pengging bisa bertani tanpa gangguan hama.

Pembuatan dan pembagian apam itu selanjutnya menjadi tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini di wilayah Banyudono, Boyolali. Tradisi sebaran apam keong mas di Boyolali itu diadakan setiap bulan Safar, sesuai waktu saat kali pertama muncul instruksi dari Yosodipuro II.

Terakhir, tradisi sebaran apam keong mas di Pengging, Boyolali, diadakan pada Jumat (15/9/2023). Bagi masyarakat Pengging adab ke-19, Yosodipuro II merupakan sesepuh dan tokoh masyarakat.

Yosodipuro juga merupakan pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ia mendapat gelar itu setelah ayahnya, Yosodipuro I, yang juga pujangga besar Keraton Solo wafat pada 1802.

Mengutip laman resmi Dinas Pariwisata Kota Solo, pariwisata.surakarta.go.id, Yosodipuro I adalah pujangga dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Pajang.

Geger Pecinan

Ia adalah putra dari pasangan Raden Tumenggung Padmonegoro dan Siti Mariyam (Nyi Ageng Padmonegoro) dan lahir pada 1729 dengan nama Bagus Banjar. Bagus Banjar mulai mengabdi kepada Paku Buwono II saat pecah Geger Pecinan di Kartasura tahun 1740-an.

Bersama Pangeran Wijil IV dan Tumenggung Aroeng Binang, Yosodipuro I ikut berjasa memindahkan pusat Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Desa Sala yang kemudian Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Setelah pindah ke Surakarta, Yosodipuro I lalu diangkat menjadi abdi dalem kadipaten dan tinggal di bekas Kedung Kol yang sekarang disebut Yosodipuran. Yosodipuro I mengabdi pada masa pemerintahan PB II hingga PB IV. Ia wafat pada 1802.

Empat karya Yosodipuro I yang paling tinggi nilainya adalah Serat Rama (saduran dari Kakawin Ramayana), Serat Bratayuda (saduran dari Kakawin Bharatayuddha).

Selain itu juga Serat Mintaraga (saduran dari Kakawin Arjuna Wiwaha), dan Serat Arjuna Sasrabahu (saduran dari Kakawin Arjuna Wijaya), yang digubah dalam bentuk syair macapat dengan bahasa Jawa baru.

Setelah Yosodipuro I wafat, gelarnya sebagai pujangga Keraton Solo diwariskan kepada putranya yang bernama Tumenggung Sastronagoro dan selanjutnya dikenal sebagai Yosodipuro II.

Berdasarkan informasi di laman kemdikbud.go.id, Yosodipuro II yang wafat 1844 mengabdi hingga masa pemerintahan Paku Buwana VII. Pada masanya dia menulis puluhan karya sastra.

Wisata Ziarah

Karya itu termasuk Serat Babad Pakepung yang merekam peristiwa pengepungan Keraton Surakarta oleh VOC, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran pada 1790.

Ia juga membuat catatan-catatan kritis mengenai kemerosotan moral yang berlangsung di istana. Yosodipura II memiliki anak yang kemudian menjadi Yosodipuro III dan dari Yosodipuro III inilah lahir pujangga terhebat paling akhir yakni Ronggowarsito.

Saat wafat pada 1844, Yosodipuro II dimakamkan di Dukuh Ngaliyan, Desa Bendan, Banyudono, Boyolali. Makamnya berada di belakang Masjid Cipto Mulyo yang dibangun pada masa PB X tahun 1909 dan menjadi kompleks wisata ziarah di Boyolali.

Lokasi makam itu juga dekat dengan lokasi wisata Pemandian Tirto Marto Pengging, tepatnya 200 meter ke arah utara dari pemandian tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara Solopos.com dengan juru kunci makam, Sancoyo, pada 2022 lalu, tanah makam itu merupakan hadiah untuk Yosodipuro I yang dianggap bisa mendamaikan antara Kasultanan Yogyakarta dengan Keraton Kasunanan Surakarta lewat Perjanjian Giyanti tahun 1755.

“Beliau dikasih hadiah sama Sinuhun apa saja tidak mau, lalu meminta tanah di Pengging. Katanya ketika ditanya Sinuhun untuk apa, beliau menjawab besok kalau dipanggil Yang Kuasa, untuk makam saya sendiri. Namanya pujangga mungkin jauh sebelumnya sudah tahu [kapan akan meninggal],” jelas Sancoyo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya