SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, BOYOLALI—Apa reaksi warga masyarakat ketika mendengar kabar narapidana (napi) rumah tahanan (rutan) diberi kesempatan berkegiatan di luar penjara? Sebagian warga justru akan bertanya bagaimana seandainya napi itu kabur melarikan diri.

Setidaknya hal itu dilontarkan Jarmo, warga Musuk, Boyolali, saat mendengar rencana Rutan Boyolali yang akan bekerja sukarela membersihkan Masjid Agung di kompleks Pendapa Alit Rumah Dinas Bupati Boyolali pada Rabu (27/3/2019).

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Lalu bagaimana sikap para napi ini saat mereka berada di luar rutan tanpa borgol, apakah mereka punya pikiran melarikan diri?

Beberapa napi rutan Boyolali yang ditemui di sela-sela kegiatan bersih-bersih rumah ibadah dalam rangka Hari Bakti Pemasyarakatan, ini mengaku tidak punya keinginan melarikan diri.

Setiyono, 38, warga Ngablak, Magelang, mengatakan tidak terbersit sama sekali untuk melarikan diri dari petugas. Terpidana kasus perampokan di Paras, Kecamatan Cepogo, Boyolali dengan hukuman dua tahun penjara ini merasa malu jika melarikan diri.

“Malu lah. Kan bapak-bapak pegawai rutan di sini sudah baik kepada kami. Masak mau kabur,” ujar Setiyono, yang sudah menjalani 20 bulan hukuman penjara ini.

Dia tidak menampik bahwa rasa kangen terhadap keluarga sangat kuat. Apalagi, selama dihukum, dia tidak dijenguk istri, anak, maupun keluarganya.

Namun dia tetap harus menahan diri pulang ke rumah hingga masa kebebasan datang. “Kalau ke sini mereka habis Rp500.000 lebih untuk sewa mobil, makan di perjalanan, untuk belikan saya rokok dan sebagainya. Makanya memang sengaja saya larang. Uangnya biar untuk keperluan rumah saja. Sebenarnya saya kangen sekali,” ujar Setiyono yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani tersebut.

Seorang napi lainnya asal Solo, Novi Ramayanto, 50, mengaku konyol jika ada pikiran kabur dari petugas. Ide itu justru akan menambah masalah.

“Tidak terbersit sedikit pun ingin kabur. Mending di sini menghabiskan sisa masa hukuman. Konyol kalau kabur karena pasti akan menambah masalah baru,” ujar terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal ini.

Jalan Kaki

Di sisi lain, napi yang ikut dalam kegiatan luar rutan ini memang sudah memenuhi kriteria tertentu. Kepala Rutan Boyolali Muhammad Ali mengatakan kriteria itu antara lain sikap, perilaku, dan mentalnya yang semuanya harus baik.

“Selain syarat mutlak mengikuti kegiatan ini adalah napi yang sudah menjalani separuh masa hukuman, mereka juga harus punya sikap, perilaku, dan mental yang baik. Mereka dipantau Tim Pengamat Pemasyarakatan. Jadi jika dalam masa pemantauan itu satu saja tidak terpenuhi, dia tidak mungkin ikut [berkegiatan] di luar,” ujarnya di sela-sela acara.



Selain itu, saat berkegiatan di luar mereka juga didampingi dan diawasi petugas yang jumlahnya lebih banyak dari mereka.

Ali menambahkan, kegiatan bersih-besih rumah ibadah ini diikuti 10 napi dan para petugas. Mereka menuju lokasi masjid yang berjarak sekitar 300 meter dari rutan ini dengan berjalan kaki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng

Perolehan Kursi di Lendah dan Galur Digugat, KPU Kulonprogo Siapkan Alat Bukti

Perolehan Kursi di Lendah dan Galur Digugat, KPU Kulonprogo Siapkan Alat Bukti
author
Newswire , 
Mariyana Ricky P.D Sabtu, 27 April 2024 - 13:22 WIB
share
SOLOPOS.COM - KPU Kulonprogo (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Solopos.com, KULONPROGO — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo, telah menyiapkan alat bukti atas sengketa hasil Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Kulonprogo 2024 di Daerah Pemilihan Lendah dan Galur yang proses hukumnya masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi RI.

Ketua KPU Kabupaten Kulonprogo Budi Priyana di Kulonprogo, mengatakan bahwa gugatan berkaitan dengan hasil perolehan kursi di Daerah Pemilihan (Dapil) V (Lendah dan Galur) untuk Pemilu DPRD Kabupaten Kulonprogo.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

“Saat ini, gugatan masih berproses di sana. Kami sudah mengumpulkan alat bukti,” kata Budi, Jumat (26/4/2024), dilansir Antara.

Ia mengatakan bahwa pihaknya menyiapkan berbagai alat bukti yang bisa menjadi sanggahan kuat terhadap gugatan tersebut. Alat bukti tersebut juga menjadi bukti integritas dari KPU setempat.

Koran Solopos

Meski demikian, dia tak memerinci dari partai politik yang mengajukan gugatan. Meski begitu, pihaknya memastikan kesiapannya dalam menghadapi persidangan dari gugatan tersebut.

Alat bukti tersebut diserahkan ke KPU RI lewat KPU Provinsi DIY. Hal ini mengingat yang nanti hadir di persidangan adalah tim dari KPU RI didampingi kuasa hukumnya.

“Semoga kami bisa membuktikan bahwa apa yang kami lakukan sudah sesuai dengan regulasi dan prosedur,” katanya.

Emagazine Solopos

Sementara itu, anggota KPU Provinsi DIY Sri Surani mengatakan bahwa alat bukti itu beragam, mulai dari dokumen hingga keterangan berupa kronologi.

Sri Surani berharap alat bukti menunjukkan bahwa KPU bekerja dengan penuh kehati-hatian dan sesuai dengan standar pelaksanaan yang berlaku.

“Semuanya diproses di Jakarta. Saat ini, kami tinggal menunggu jadwal dimulainya persidangan,” kata Sri.

Interaktif Solopos



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.

Kecelakaan di Sragen, Remaja Asal Ngarum Meninggal Gegara Seruduk Motor

Kecelakaan di Sragen, Remaja Asal Ngarum Meninggal Gegara Seruduk Motor
author
Tri Rahayu , 
Kaled Hasby Ashshidiqy Sabtu, 27 April 2024 - 13:06 WIB
share
SOLOPOS.COM - Warga berkerumun saat tim PMI mengevakuasi korban kecelakaan di Jalan Sragen-Sambirejo, tepatnya di Banjarsari, Desa Ngarum, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Jumat (26/4/2024) malam. (Istimewa/PMI Sragen)

Solopos.com, SRAGEN — Seorang remaja meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan lalu lintas (lakalantas) yang melibatkan dua unit motor di Jl. Sragen-Sambirejo, tepatnya di Dukuh Banjarsari RT 030, Desa Ngarum, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Jumat (26/4/2024) malam.

Nasib tragis itu dialami Faugel Putra Hanggara, 17, warga Bibis, Desa Ngarum, setelah menyeruduk pengendara motor di depannya.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kapolres Sragen, AKBP Jamal Alam, melalui Kasatlantas, AKP Mustakim Kaslan, pada Sabtu (27/4/2024) mengungkapkan peristiwa itu terjadi sekitar pukul 22.30 WIB. Faugel saat itu mengendarai sepeda motor Suzuki Satria. Sementara sepeda motor yang Diseruduk nya adalah Honda Karisma AD 4735 TN yang dikendarainya Nanda, 29, warga Desa Ngarum yang berboncengan dengan Heru, 36, warga Walikukun, Widodaren, Ngawi.

Koran Solopos

“Faugel mengalami luka parah dan dilarikan ke RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Sedangkan dua pengendara motor lainnya mengalami luka ringan dan dirawat di RS swasta di Sragen,” jelasnya kepada Solopos.com.

Kronologi kejadian tersebut berawal saat kedua motor berjalan dari arah selatan ke utara dengan posisi motor Suzuki Satria tanpa pelat nomor itu berada di belakang. Menjelang sampai di lokasi kejadian, Faugel berusaha mendahului dari kanan tetapi mendadak hilang kendali hingga akhirnya menyeruduk motor Honda Karisma hingga kedua pengendara kedua motor terjatuh.

Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Sragen, Ismail Joko Sutresno, mengatakan Faugel mengalami patah tertutup pada leher, hematoma kepala belakang, patah tertutup rahang bawah dan pergelangan tangan kanan dan kiri, serta luka ringan lainnya. Sedangkan untuk pengendara lainnya dan pembonceng  mengalami luka ringan.

Emagazine Solopos

“Awalnya kami mendapat informasi pukul 22.45 WIB ada lakalantas di jalan Sragen-Sambirejo dengan kondisi korban masih di lokasi kejadian. Petugas posko merespons dengan data ke lokasi kejadian menggunakan mobil ambulans rescue medic alfa 01 PMI Sragen,” kata dia.

Petugas PMI membawa Faugel menuju Instalasi Gawat Darat (IGD) RSUD dr. Soehardi Prijonegoro Sragen. Di sana oleh petugas medis Faugel dinyatakan meninggal dunia.

Interaktif Solopos


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.

Membaca Kartini

Membaca Kartini
author
Ichwan Prasetyo Sabtu, 27 April 2024 - 12:55 WIB
share
SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Warisan abadi Kartini, yang layak dimaknai secara mendalam dan dijaga generasi-generasi sesudahnya, sebenarnya adalah budaya membaca dan menulis. Peringatan Hari Kartini tiap 21 April jamak melupakan urusan ini.

Kemampuan membaca dan menulis membutuhkan niat kuat, energi tinggi, dan kerja keras. Manusia tidak terlahir dengan kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan ini harus dilatih.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Ketika telah mampu membaca dan menulis dasar—yang dibutuhkan umtuk kebutuhan minimal harian, misalnya urusan administrasi kependudukan atau urusan sosial kemasyarakatan—tetap butuh latihan untuk memberdayakan menjadi kebiasaan hidup.

Berbeda dengan kemampuan melihat dan mendengar. Ini dua kemampuan yang diberikan kepada setiap manusia sejak lahir. Melihat dan mendengar bisa dilakukan siapa saja. Tidak butuh dilatih. Kemampuan ini seturut perkembangan fisik dan psikis tiap individu.

Koran Solopos

Membaca dan menulis—yang menjadi kebiasaan sehari-hari—bukan perilaku jamak, apalagi membaca buku. Buku pada era sekarang tentu mencakup buku yang dicetak di kertas dan buku dalam format digital atau e-book.

Membaca buku bukan kebiasaan mayoritas warga negeri ini. Tak perlu sajian data statistik untuk menunjukkan ini. Ini telah menjadi pemahaman umum.

Kartini dikenang sampai hari ini, hingga 120 tahun sejak kematiannya pada 17 September 1904, adalah karena kebiasaan dia membaca dan menulis. Kartini ”hidup” sampai hari ini karena dia menulis. Menulis itu buah membaca.

Memahami Kartini dan mengontekstualkan pemikiran-pemikiran Kartini yang dia ekspresikan secara tertulis dalam surat-surat kepada sahabat pena di luar negeri, sebagai jalan ”perjuangan” dia masa itu, mensyaratkan membaca.

Lomba membaca surat-surat Kartini dilakukan di banyak sekolah dan banyak lembaga. Ini tentu ikhtiar yang baik untuk memahami pikiran-pikiran Kartini, perjuangan Kartini, harapan Kartini, dan relevansinya dengan kondisi terkiwari.

Membaca surat-surat Kartini tentu tak sama dengan membaca surat-surat perempuan anonim atau perempuan yang tidak kita kenal. Membaca surat-surat Kartini harus berdialektika dengan pengetahuan tentang Kartini.

Emagazine Solopos

Berdekade-dekade Kartini mewujud di tengah generasi yang berganti dengan gambaran yang relatif sama. Wujud Kartini dalam beberapa generasi yang paling kentara bisa disimak pada peringatan Hari Kartini dengan ciri khas pakaian adat dan aneka lomba, termasuk lomba membaca surat-surat Kartini.

Selama berdekade-dekade Kartini muncul di tengah beberapa generasi di atas fondasi Dharma Wanita. Imajinasi tentang Kartini di atas fondasi itu adalah perempuan sebagai istri pendamping suami, pengurus utama rumah tangga, dan bertugas membesarkan anak-anaknya.

Saya menemukan sosok Kartini yang sangat jauh dari imajinasi ala Dharma Wanita—era Orde Baru—itu. Saya beberapa kali membaca surat-surat Kartini yang dihimpun dalam buku R.A. Kartini; Emansipasi: Surat-surat kepada Bangsanya 1899—1904 terbitan Jalasutra (2014).

Pembacaan saya meruntuhkan imajinasi Kartini yang dikonstruksi oleh Dharma Wanita maupun imajinasi Kartini sebagai ”feminis pertama” di Indonesia. Pembacaan berkali-kali atas surat-surat Kartini membawa saya pada kesimpulan dia memang manusia biasa dengan segala kompleksitas diri.

Kompleksitas karena kepribadiannya. Kompleksitas karena zaman. Kompleksitas karena harapan dan cita-cita. Pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya hingga hari ini adalah kenapa Kartini ”menyerah”, padahal dia punya kakak laki-laki, R.M.P. Sosrokartono, yang berpendidikan Eropa dan berpikiran sangat maju?

Saya sepakat dengan analisis Katrin Bandel dalam pengantar buku R.A. Kartini; Emansipasi: Surat-surat kepada Bangsanya 1899—190, bahwa Kartini tidak mudah dimengerti, dan mungkin dia sendiri juga tidak mudah memahami dirinya sendiri.

Untuk ukuran perempuan Jawa masa itu, Kartini jelas sangat terdidik. Dia terdidik dengan gaya pendidikan Eropa. Dia gemar membaca. Bacaannya beragam. Menguasai bahasa Belanda. Dia bergaul dengan orang-orang Belanda.

Interaktif Solopos

Bacaan dan pergaulan yang luas itu membuat Kartini sadar tentang nilai-nilai humanisme, termasuk emansipasi perempuan. Nilai-nilai itu sering berbenturan dengan realitas kehidupan dan kedirian yang dijalani Kartini sehari-hari.

Kartini berkesimpulan kebudayaan tempat lahir dan hidupnya kolot. Kala itu ia berpendapat kemajuan hanya bisa datang dari Barat. Pada saat bersamaan dia sadar sepenuhnya sebagai pribumi, sebagai orang Jawa, dia hidup di bawah kekuasaan kolonial.

Ia melihat sendiri ketidakadilan, rasisme, dan eksploitasi atas negerinya. Hasrat merengkuh kemajuan—yang dia yakini hanya berasal dari Barat—bertemu dengan rasa cinta dan hormat kepada keluarga dan negerinya yang menjadi objek ketidakadilan, rasisme, dan eksploitasi.

Dia menjadi gelisah dan terombang-ambing. Inilah jawaban sementara yang saya peroleh dari pembacaan saya atas Kartini sejauh ini. Persis pada jawaban sementara inilah maka membaca menjadi keniscayaan pada era kini, era setelah 120 tahun kepergian Kartini untuk selamanya.

Kartini memahami realitas, bercita-cita, berharapan, berempati kepada kaum perempuan senegerinya karena membaca. Ia ”ngulir budi” demi menemukan solusi dan strategi dengan membaca.

Tanpa membaca mustahil dia bisa mengekspresikan kegelisahan lewat surat-surat—sebagian sangat panjang—kepada sahabat penanya di Barat.

Dalam konteks yang berbeda, dilema zaman yang dihadapi Kartini bisa jadi juga kita rasakan—tidak hanya oleh kaum perempuan—pada masa kini. Keterombang-ambingan juga melanda generasi yang hidup pada zaman kiwari.



Kelebihan Kartini dibanding kaum perempun sezaman adalah keterbukaan wawasan dan kesempatan membaca aneka bacaan dan kemudian menulis. Inilah yang mendorong Kartini—dalam keterombang-ambingan—mengambil keputusan yang dia yakini sebagai jalan terbaik.

Keputusan itu bisa saja disebut sebagai pilihan rasional, walau saya memaknai sebagai memilih jalan kekalahan. Tentu saja ini layak diperdebatkan karena frasa ”jalan kekalahan” itu muncul dari pembacaan realitas dulu pada masa dan konteks zaman kiwari.

Apabila dikaji pada zaman itu, bisa jadi ”jalan kekalahan” itu memang yang paling rasional. Mungkin saja. Kehidupan masa kini, dengan keberlimpahan informasi, tetapi dengan budaya membaca  dan menulis yang rendah, juga meniscayakan keterombang-ambingan.

Saya teringat ungkapan wartawan senior dan sastrawan Bre Redana yang dia unggah di X beberapa hari lalu. Tidak saya kutip secara verbatim.

Dia menulis bahwa kini menjadi cerdas—berwacana banyak dan berwawasan luas—itu sukar di bawah penguasa (kekuasaan) yang tidak berniat mencerdaskan bangsanya.

Menjadi cerdas pada masa kini itu sukar dan mahal. Kini mereka yang terkungkung dalam ketidakcerdasan struktural diajak menikmati kemenangan sambil mengolok-olok intelektualitas dan peradaban.

Intelektualitas dan peradaban itu yang dicita-citakan Kartini untuk kaum perempuan senegerinya pada masa itu. Kini intelektualitas dan peradaban itu malah diolok-olok, budaya membaca dan menulis kalah dengan joget dua menitan atau tiga menitan…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Memuat Berita lainnya ....
Solopos Stories