Soloraya
Senin, 22 April 2024 - 15:36 WIB

Sepinya Kampung Satai Boyolali seusai Lebaran, Tinggal Warga Lansia & Anak-anak

Nimatul Faizah  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana Kampung Satai Glagahombo, Blumbang, Klego, Boyolali, sepi ditinggal warganya merantau seusai Lebaran. Foto diambil Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Sebagian besar warga Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, merantau ke wilayah Jabodetabek untuk berjualan satai dan aneka olahan daging kambing. Hal itu membuat suasana dukuh berjuluk Kampung Satai itu sepi, apalagi setelah Lebaran.

Begitu libur Lebaran usai dan para perantau kembali ke perantauan untuk bekerja, tinggal orang-orang lanjut usia (lansia) dan anak-anak kecil yang ada di kampung tersebut.

Advertisement

Kadus Glagahombo, Dibyanto, menyampaikan ada lebih dari 1.500 warga Glagahombo yang merantau. Ketika hari biasa, tersisa sekitar 600 orang di dukuhnya termasuk para warga lansia.

“[Warga] Lansia yang usianya di atas 60 tahun, ada 60-70  orang lebih. Kalau yang setengah tua banyak. Kami masih mencari solusi bagaimana para warga lansia yang ditinggal anak-anak merantau ke Jakarta ini tetap kopen [terpelihara], ini lagi dibahas oleh kader-kader Posyandu,” kata dia kepada Solopos.com, Minggu (21/4/2024).

Advertisement

“[Warga] Lansia yang usianya di atas 60 tahun, ada 60-70  orang lebih. Kalau yang setengah tua banyak. Kami masih mencari solusi bagaimana para warga lansia yang ditinggal anak-anak merantau ke Jakarta ini tetap kopen [terpelihara], ini lagi dibahas oleh kader-kader Posyandu,” kata dia kepada Solopos.com, Minggu (21/4/2024).

Ia menjelaskan para kader Posyandu bertugas mengawasi para warga lansia yang ditinggal keluarganya merantau dengan dukungan dari paguyuban perantau Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo (IKKG).

Dibyanto menjelaskan setiap bulan ada beberapa kegiatan untuk para warga lansia seperti Posyandu dan senam bersama. Hal tersebut agar para warga lansia tetap terkontrol kesehatannya dan bahagia di rumah. Kegiatan warga lansia di Glagahombo kebanyakan menggarap lahan pertanian.

Advertisement

Dengan program yang direncanakan, nantinya ada petugas yang mengontrol kehidupan para warga lansia di rumah masing-masing. Sehingga, para perantau yang meninggalkan orang tua bisa bekerja dengan tenang. “Orang-orang tua ditinggal semua anaknya merantau, tapi mereka diajak ke Jakarta juga tidak mau, tidak kerasan,” kata dia.

Hanya Ramai saat Lebaran dan Ruwahan

Ia menjelaskan pada hari biasa suasana Glagahombo sangat sepi karena banyak yang merantau. Dibyanto juga mengaku sempat merantau ke Jakarta berjualan satai. Ia lalu kembali lagi ke desa pada 2014 untuk jaga kampung. Kemudian, sekitar 2016 ia mendapatkan amanah untuk menjadi Kadus.

Walaupun balik kampung, Dibyanto memiliki satu outlet satai di Bogor dan mempekerjakan pegawai. Sehingga, ia masih sering bolak-balik Glagahombo ke Bogor. Ia mengungkapkan beberapa warga yang kembali ke kampung juga tetap memiliki usaha berjualan satai di tanah rantau.

Advertisement

“Tidak bisa dimungkiri, usaha warga kami yang diandalkan itu [berjualan satai]. Jadi bagaimana pun usaha tidak bisa langsung kami lepas,” kata dia.

Dibyanto menjelaskan mayoritas warga merantau sehingga di Dukuh Glagahombo pada hari biasa sangat sepi. Hanya ramai saat Lebaran dan momen ruwahan ketika perantau balik kampung untuk mengunjungi orang tua dan saudara.

Selanjutnya, ia berharap dengan banyaknya perantau dari Glagahombo tetap membuat mereka peduli dengan kampung halaman.

Advertisement

“Walau sukses di perantauan, harapan saya mereka tetap peduli dan ingat kampung halaman. Jangan ditinggalkan kampung halaman ini. Walau punya rumah di Jakarta, di kampung halaman juga tetap memiliki rumah. Kalau di kampung tetap ada rumah, mereka paling tidak setahun sekali bakal pulang,” kata dia.

Ketua IKKG se-Jabodetabek, Sudadi, menyampaikan warga Glagahombo mulai merantau ke Jakarta untuk berjualan satai sejak 1960-an. Sebelum itu, beberapa warga Glagahombo menjadi pedagang satai keliling dengan pikulan di Solo. Lalu, seorang pelanggan menawari mereka menjual satai dan tongseng di Jakarta.

Pada 1960 awalnya hanya kurang dari 10 orang yang berjualan satai. Dari mulai berkeliling, menyewa kios, lalu memiliki kios sendiri. Pada 2024 ini, tercatat lebih dari 1.500 penjual satai khas Solo di Jakarta yang berasal dari Glagahombo.

“Awalnya menu hanya satai, gulai, dan tongseng. Namun, saat ini saya mencoba mengkreasikan tengkleng gongso selama 10 tahun terakhir ini,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif