SOLOPOS.COM - Mentari Sehat Indonesia Wonogiri bersama Dinkes Wonogiri mengadakan pertemuan yang membahas salah satunya terkait kasus TBC di Ruang Pertemuan Sarwo, Wonogiri, Senin (26/2/2024). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Mentari Sehat Indonesia (MSI) Wonogiri mengungkapkan temuan di lapangan masih banyak warga Wonogiri yang cenderung abai pada bahaya penyakit Tuberkulosis atau TBC. Banyak orang belum sadar bahwa penyakit tersebut bisa berakibat fatal.

Hal itu pula yang menjadi salah satu kendala dalam pendeteksian dan penjangkauan orang yang mengidap TBC. Anggota Staf Program Mentari Sehat Indonesia (MSI) Wonogiri, Wahyu Uliartha, mengatakan penanggulangan TBC di Wonogiri masih menghadapi banyak tantangan dan kendala.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Banyak orang yang belum sadar soal bahaya TBC. Bahkan warga yang rentan TBC pun masih banyak yang abai. Padahal penyakit menular ini bisa merusak organ vital seperti paru-paru, menurunkan sistem kekebalan tubuh, hingga mengakibatkan kematian.

Dia menjelaskan banyak orang yang sebenarnya berisiko tertular TBC tetapi enggan diperiksa sampel dahaknya. Mereka merasa masih sehat. Padahal dalam banyak kasus, mereka yang tampak sehat namun memiliki faktor risiko, ternyata positif TBC saat dilakukan pemeriksaan.

Maka dari itu, kata dia, penanganan kasus TBC ini perlu kolaborasi berbagai pihak terkait, mulai dari Dinas Kesehatan, rumah sakit daerah, hingga masyarakat. Hal itu agar capaian pemeriksaan terhadap orang suspek TBC semakin luas sehingga temuan kasus penyakit ini pun semakin banyak dan bisa ditangani dengan baik.

“Makanya kami jalin MoU dengan Dinkes Wonogiri. Jadi ketika Sistem Informasi Tuberkulosis [SITB] milik pemerintah itu melaporkan ada kasus TB, kami yang langsung turun tangan untuk skrining dan investigasi kontak orang serumah,” kata Uliartha saat ditemui Solopos.com di Gedung Pertemuan Sarwo, Wonogiri, Senin (26/2/2024).

Dia menambahkan tantangan penanganan TBC semakin besar karena mereka yang tertular masih kerap mendapatkan diskriminasi berupa pengucilan dari lingkungan sosial. Selain itu, mereka yang menjadi pasien TBC tidak jarang terganggu masalah ekonominya.

TBC Resisten Obat

Hal itu yang menjadi salah satu penyebab warga takut saat hendak diperiksa TBC. Masalah ekonomi dan sosial itu juga kerap menjadi faktor penyebab pasien TBC berhenti pengobatan atau loss to follow up sehingga menjadi pasien TBC resisten obat (RO). 

“Ketika sudah jadi pasien resisten obat, maka tantangannya lebih besar lagi. Mereka harus setiap hari minum obat dari puskesmas dan didampingi. Pengobatan pasien resisten obat ini bisa setahun lebih. Kalau pasien TBC biasa hanya enam bulan. Untuk pasien resisten obat, kami beri bantuan Rp600.000/bulan sebagai uang transportasi untuk pengobatan,” ujar dia.

Kader TBC MSI Wonogiri, Agus Cahyono, menyampaikan masih banyak ditemukan pasien TBC menyepelekan penyakit tersebut. Mereka sering kali enggan menjalani pengobatan sampai selesai. Hal itu justru berpotensi membuat mereka jadi pasien TBC resisten obat.

Ada beberapa alasan mengapa mereka enggan konsisten berobat, antara lain jenuh harus minum obat setiap hari, mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan, dan masalah ekonomi.

”Kebanyakan pasien TBC itu memang kelas menengah ke bawah, walaupun ada beberapa yang kelas menengah atas. Itu bisa dipahami karena mereka kurang menerapkan pola hidup sehat,” ucap Agus.

Data Dinkes Wonogiri, pada 2020, temuan orang mengidap TBC sebanyak 682 kasus. Kemudian pada 2021 ada 619 kasus, 2022 ada 1.196 kasus, dan 2023 ada 1.436 kasus. Dari jumlah kasus pada 2023 itu, 14 kasus di antaranya merupakan pasien TBC resisten obat. Selain itu, ada 553 anak-anak di antara 1.436 kasus itu.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Wonogiri, Satyawati, mengatakan temuan kasus TBC di Wonogiri pada 2023 mencapai 1.436 kasus. Jumlah itu sudah melebihi estimasi atau target temuan sebanyak 1.419 kasus. Semakin banyak kasus yang ditemukan, pengendalian penyakit TBC ini semakin mudah.

Meningkatkan Deteksi

Mereka yang terdiagnosis TBC bisa mendapatkan pengobatan. Orang yang kontak erat dengan pasien TBC juga bisa lebih mudah dalam melakukan tindakan pencegahan penularan sehingga meminimalkan penambahan kasus baru.

Satyawati menjelaskan jumlah temuan kasus sebanyak itu hasil dari pemeriksaan 13.652 orang suspek TBC selama setahun. Jumlah capaian suspek itu pun sudah melebihi target yang sejumlah 7.663 orang suspek.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Wonogiri berupaya akan meningkatkan temuan dan deteksi kasus TBC pada 2024. Hal itu sesuai dengan target temuan kasus yang ditetapkan Dinkes pada tahun ini sebanyak 2.515 kasus.

Dia menyebutkan peningkatan target capain kasus ini sudah disesuaikan dengan estimasi jumlah kasus TBC secara nasional. Peningkatan target capaian itu dilakukan agar semua kasus TBC bisa terobati. Dengan begitu, target eliminasi TBC pada 2030 di Indonesia pun bisa tercapai.

“Jumlah kasus banyak itu bukan berarti kami gagal mengendalikan penyakit TBC. Justru itu target kami agar semua pasien TBC bisa diketahui lalu bisa diobati. Untuk mengeliminasi penyakit, berarti harus tahu dulu kasus ada berapa,  sebarannya di mana saja. Kalau tidak tahu itu, bagaimana mau mengeliminasi,” kata Satyawati.

Dia juga sepakat penanganan kasus TBC tidak bisa dibebankan pada satu pihak. Perlu kerja sama berbagai pihak untuk mengatasi penyakit menular ini. Sebab penanganan TBC sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya